Mudik, Ngetanen: Hilangnya Kesempatan Tabuh Bedug di Kampung
Hilangnya mudik karena Corona
REPUBLIKA.CO.ID, --Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Dalam lebaran kali ini, ada satu hal yang terasa kurang. Dan itu adalah soal mudik yang tidak bisa dilakukan karena adanya pandemi wabah virus asal Wuhan, Cina yang bernama Corona. Sekilas Corona memang terdengar merdu layaknya lagu dangdut zaman dahulu dari biduanita Elvi Sukaesih. Namun kemerduan namanya kini tak lagi bisa menggebah warga kota untuk pulang kampung, alias mudik tak bisa dilakukan tahun ini.
Bahkan uniknya, akibat virus Corona, orang di kampung-kampung kini memasang sikap waspada. Banyak cerita mungkin mereka sekarang bisa lolos mudik ke kampung, tapi perlakuan warga desa di sana sudah berbeda. Bila mereka pada lebaran sebelumnya kedatangannya selalu ditunggu, kini mereka tak lagi. Para penduduk desa meminta mereka mudik kapan-kapan.
Ada kisah dari seorang pemilik warung Tegal di Jakarta yang ditanya mengapa tidak mudik? Jawabnya ternyata kini mendingan tidak dilakukan dahulu.
''Memang mungkin bisa mudik Pak. Tapi sesampai kampung kami harus lapor ke kepala desa. Kalau tidak ada orang yang menjemput kami. Setelah itu kami selama setengah bulan harus tinggal di penampungan yang ada di SD kampung kami itu. Kami tak boleh ke mana-mana. Selama dalam pengasingan atau karatina itu kami juga dilarang bertemu dengan kerabat. Kami memang dipasok makan dan minum, tapi gak boleh ke luar. Jadi lebih baik tak usah mudik dulu sekarang,'' kisah seorang penjaga Warteg di Jakarta Barat.
Uniknya soal mudik di Betawi atau Jakarta di masa lalu, juga salah satunya terkait dengan soal wabah atau pandemi penyakit. Sejarawan Betawi JJ Rizal beberapa tahun lalu dalam sebuah perbincangan bicara begini: "Di Indonesia, budaya mudik merupakan tradisi. Masyarakat serentak berpindah dari kota-kota besar untuk pulang ke kampung halaman."
Di sebuah kampung penulis yang berada di Jawa Tengah bagian selatan, lebaran kali ini para pemudik juga tidak ditunggu karena melusanya wabah Corona. Memang dalam budaya kami sepekan menjelang lebaran ada yang disebut 'Prepegan' yakni belanja ke pasar untuk memenuhi kebutuhan lebaran. Waktunya pun tidak diatur. Artinya, bila Seni di pasar di bagian selatan, Selasa di bagian utara, Rabu bagian timur, dan seterusnya. Bahkan, kata orang tua dahulu 'Prepegan' diatur mengacu pada hari 'Pasaran' (hari dalam kalender Jawa), yakni Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Biasanya selain belanja dahulu kami ke pasar untuk 'Prepegan' juga untuk membeli 'Damar Kurung' atau lentera yang berlampion.
Tapi pada lebaran kali ini tradisi itu sekonyong-konyong musnah. Di stasiun kereta api dan bus tak ada lagi orang yang mudik dari kota. Para tukang becak dan kusir dokar menganggur karena tak ada penumpang. Juga tukang ojek yang biasanya panen rejeki menjelang lebaran karena mematok tarif berlipat-lipat, kini lesu karena kehilangan penumpang.
Selain itu masuk ke kampung bagi 'orang asing' tidak mudah. Mereka diawasi ketat. Para perangkat desa rutin mengecek rumah siapa saja yang kemungkinan ada kerabantnya yang mudik. Kalau ketahuan mereka harus ke Balai Desa seperti di desa lainnya, yakni menjalani karantina selama 15 hari. Jadi semenjak stasiun hingga ke rumah ada orang yang selalu mengawasi. Orang mudik kini diawasi secara ketat, Bahkan, termasuk orang yang dalam definisi Pak Jokowi 'pulang kampung' mereka diberlakukan yang sama, yakni menjalani aneka proses sterilisasi virus yang serius.
Lagi pula untuk mudik di hari lebaran kini juga terasa sia-sia. Kebiasaan takbiran di masjid dan shalat ied di masa kecil kali ini pun musnah. Para kerabat di kampung mengabarkan hanya penduduk desa yang selama ini menjadi jamaah tarawih saja yang boleh ke masjs]id dan bisa ikut shalat Ied. Aturan ini memang sudah berlaku semenjak Ramadhan tiba dalam kaitannya dengan shalat tarawih. Meski kampung kami merupakan 'wilayah dalam zona hijau Corona' para kepala desa dan perangkatnya yang juga merupakan saudara, memperlakukan orang mudik dengan pengawasan ketat. Tanpa ampun.
''Mas jangan mudik dulu. Sudah ada pengumuman dari desa bila shalat ied di rumah dan tak ada silaturahmi dengan berkunjung ke rumah-rumah seperti biasanya. Kamu juga tidak akan bisa menabuh bedug di malam takbiran di masjid seperti lazimnya. Masjid kini ada petugas untuk melarang orang asing masuk. Mereka juga harus disteriliasasi. Bahkan, jamaahnya sendiri ketika masuk masjid merupakan jamaah yang sudah dikenal, menjaga jarak, dan melakukan proses sterisasi sebelum shalat. Sudah mudik nanti saja kalau sudah enak suasananya,'' kata adik yang ada di kampung kami yang berada di Kebumen bagian selatan itu.
Maka untuk tahun ini, keriuhan lebaran di kampung hilang. Semalaman menabuh bedug, takbiran, hingga begadang membagikan zakat di kampung melayang. Dan untung saja orang kampung tak kesusahan seperti banyak orang kota di Jakarta yang kali ini ingin mudik. Kampung kami sangat subur. Sawah baru panen. Panen padi pun sangat baik. Aneka tanaman sayuran dan ternak pun tersedia cukup. Mereka kini untuk sementara menganggap orang mudik lebaran harus dicurigai atau waspadai!
*******
Sementara bila ingin melacak asal usul kata mudik sendiri, menurut pemaparan sejarawan JJ Rizal memang dari tradisi 'Betawi Melayu' yang berati amelakukan perjalanan ke arah selatan. "Dia pergi ke arah selatan terkait dengan balik arah dari arus besar sungai ciliwung. Jadi perlu patokan waktu untuk menentukan kata mudik yang banyak menafsirkan pada hulu dan hilir atau hilir dan mudik."
Uniknya lagi, kala itu Rizal menyatakan mudik juga terkait dengan berjangkitnya penyakit di tanah Batavia atau Betawi. "Pada masa Hindia-Belanda kalau kata udik ini merupakan perpindahan dari kota Benteng Batavia akibat penyakit sehingga membuat penduduk saat itu pindah ke selatan. Jadi kalau orang Betawi bilang mudikin itu artinya ke selatan. Nah orang udik itu adalah orang di selatan," ujarnya.
Dia menjelaskan, proses migrasi pada masa itu menurut orang Betawi adalah pergi ke arah selatan. Sebab, dulu para pekerja budak, pembantu, atau orang berasal dari kampung jika masuk ke wilayah Batavia mereka menyebutnya masuk kota.
Mereka berangkat dari kota itu menyebutnya ngetanen. Sedangkan, balik disebut dengan mudikin. "Jadi balik ke udik karena mereka orang udik,"kata sejarawan dari Penerbit Komunitas Bambu itu. JJ Rizal kemudian menambahkan, kata mudik kemudian menjadi dominan lantaran mereka rutin melakukannya tanpa batasan hari-hari tertentu.Ngetanen bisa disebut juga artinya dengan bekerja kembali (berladang atau bertani kembali: dari kata tani).
"Sehingga kapanpun mereka meninggalkan rumah tuannya di Batavia untuk kembali ke daerah kampungnya di selatan memiliki artinya mudikin,'' kisahya.
Kata udik itu sebenanrya berasal dari Betawi Melayu. Meski demikian, Rizal menerangkan, kata mudik sendiri juga diartikan atau asalkan oleh budaya lainnya seperti di Jawa dengan istilah Munduh Ditilik. "Itu hanya masalah utak-atik kata saja. Tapi itu lahir dari konsep pertumbuhan kota ketika ada urbanisasi,"ungkapnya.
Dia mengatakan, konsep mudik sendiri awalnya memang tidak melulu terkait dengan perayaan penting seperti Idul Fitri atau Lebaran. Jadi perkembangannya jika ada seorang pulang kampung itu artinya dia mudik. "Misalnya pembantu situ kemana?, Mudik. Jadi Tidak hanya lebaran tapi bisa kapan saja sebulan atau tiga bulan sekali. Jadi tidak hanya karena perayaan. Dia punya udik. Dia punya kampung. Udik tuh ya kampung," tuturnya.
Seiring perkembangan urbanisasi kata mudik sediri sudah tidak bermakna pergi ke kampung atau ke Selatan. Pemaknaan mudik saat ini bisa diartikan ke mana saja ke Utara, Barat, atau Timur. "Karena kemudian Jakarta memang didatangi dari mana-mana. Jadi konsep yang orientasinya ke arah selatan karena balik lagi sama dengan arti awalnya. Karena proses urbanisasi itu mendatangkan orang dari segala macem arah,"ujarnya.
*******
Dalam catatan kajian sosiologis dengan merujuk catatan statistik, fenomena menggila mudik dari Jakarta mulai terjadi pada tahun 1970-an. Pada zaman sebelumnya mudik dan urbanisasi memang ada, tapi jumlahnya tak terlalu besar. Mulai tahun 1970 atau pasca Orde Baru mulai terjadi pembangunan pabrik yang besar-besaran di seputaran tanah Betawi. Akibatnya, orang-orang udik aliar kaum urban berdangan secara masif membanjiri Jakarta.
Maka, mulai kala itu mudik semakin menjadi fenomena. Keriuhan di stasiun kereta api, bus, dan pangkalan angkutan segera terlihat. Orang berbondong-bondong mudik, terutama pada 10 hari terakhir menjelang lebaran. Lazimnya setelah pulang ke udik, mereka ketika balik ke kota atau 'ngetanen' membawa sanak keluarga. Akhirnya setelah arus mudik, juga terjadi arus balik atau'negtanen' tak kalah dahsyat. Proses ini terjadi sepenjang tahun dan semakin menggila di kala lebaran.
Jadi bila hari-hari ini 'mudik' dan 'ngetanen' tak ada lagi gegara Corona, maka diharap maklum. Bagi anda yang berkeras mudik atau terpaksa 'pulang kampung' karena sesuatu hal maka siap-siap tidak berlebaran di kampung secara normal. Anda tak bisa ke mana-mana pada perayaan lebaran kali ini. Anda laksana jadi orang tahanan yang terpenjara di kampung sendiri!