Ingat Mina Kala Haji dan Tangis Yasser Saleh Palestina
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mohammad As'adi, Jurnalis Senior Republika
Saya lupa-lupa ingat namanya , lelaki Palestina separoh baya yang hampir setiap malam ngobrol di tenda kami, di Mina, Setelah menjalani Wukuf di Arafah. Kalau tidak salah Yasser Saleh namanya --orang biasanya memanggilnya Saleh atau Yasir. Ia yang mengurus catering kami, para jamaah haji khusus.
Maski kami berdampingan dengan tenda haji khusus Malaysia tapi lelaki itu lebih akrab dengan kami yang dari Indonesia. Dalam bahasa arab dan bahasa Indonesia terpatah-patah ia selalu bercerita tentang kekejaman kaum zionis yang menjajah negerinya, tentang kegetiran dan penderitaan rakyat negeri para nabi itu.
Ia acapkali berurai air mata, saat bagaimana perempuan-perempuan negerinya di perkosa, kemudian dibiarkan melahirkan anak-anak Israel. Sementara anak-anak Palestin dihabisi.- Tapi kami tidak patah arang, satu anak Palestina gugur, beratus perempuan kami melahirkan mujahid-mujahid baru, kami tak takut Zionis, kami hanya takut Allah-
Yasser juga bilang – Muslim Indonesia memiliki andil besar dalam perjuangan rakyat Palestina melawan zionis, kami sangat berterimakasih, kami tidak bisa memberi balasan setimpal dari Allah. Saya yakin Allahlah yang memberi balasan.
Air mata dan darah, luka dan kematian adalah jiwa bagi rakyat Palestina. Adalah harga diri sebuah bangsa dalam mempertahankan haknya. Kata Yasser, barangkali itulah sunnah bagi rakyat Palestina sebelum mendapakan kemenangan yang sebenarnya.
‘’Di antara tumpukan derita dan nestapa kami , ada satu kesedihan yang paling menyakitkan, kami dilarang salat di masjid kami, al aqsa, masjid paling indah dan paling mulia setelah Masjidil Haram dan Nabawi. Masjid ditutup, kami dihalangi , kami di usir dari masjid kami… tidak ada kesedihan melebihi kesedihan terusirnya kami dari masjid kami, rumah tuhan kami,’’ katanya sambil berurai air mata.
- Keterangan foto: Hujan deras di tenda Mina.
Ingat kalimat itu, saya seperti tersentak, beberapa bulan terkhir ini.masjid-masjid kita ditutup, kegiatan keagamaan kita dihentikan, bahkan di masjid tempat tinggal saya…selain dikonci sekedar mengumandangkan adzan saja tidak bisa, dengan alasan Covid-19, virus yang sampai saat ini menjadi barang dagangan paling laris dan paling mahal.
Hati kami merasa sedih luar biasa. Hati kami ingin menangis rasanya , bahkan untuk salatpun harus menjaga jarak, tidak ada bedanya dengan tata cara ibadah ummat Yahudi di sinagoga. Bahkan untuk sekedar salat di teras masjidpun ada yang mematai-matai, lalu melaporkan kalau kami melanggar larangan salat di masjid dan tidak pakai masker.
Padahal , meski dengan cara ‘bergerilya- kami tetap menjalani SOP ,mencuci tangan dengan sabun, bahkan setiap kali mau masuk masjid membasuh bagian-bagian yang harus terkena air wudlu, tidak hanya kedua tangan. Dan kami sadar-kebersihan, tidak hanya tangan tapi meliputi seluruh aspek kehidupan- adalah sebagian dari iman.
Ketika Salat masker kami lepas- karena katanya –ketika kita beribadah ,jangankan masker, penutup wajah perempuan (cadar pun) harus dibuka. Kami bukan mengabaikan dan melakukan pembangkangan terhadap SOP yang ditetapkan pemerintah terkait Covid 19. Tetapi sebagaimana dilakukan Rasulullah, bagaimana ketika ada wabah dan kapan harus tidak salat di masjid dan apa-apa yang masih dilakukan terkait kegiatan beribadatan di tengah pandemi.
Dan satu hal, insyaallah, setiap yang hendak menjalankan salat jum’at. Dari rumah mandi, berwudlu dan mengenakan pakaian paling bersih. Lebih dari hanya sekedar mencuci tangan---- lah sudah begitu sebelum masuk area masjid, ternyata masih harus menjalani protap—cuci tangan dan semprot disinfektan.
Ketika kita tidak bisa melangkahkan kakinya ke teras masjid, betapa hati merasa luar biasa sedih, betapa hati menangis. Lalu saya ingat cerita Yasser ketika di Mina dulu yang bercerita:" Paling menyakitkan dan menyedihkan bagi rakyat Palestina adalah ketika Al Aqsa ditutup- kata Yasser, ke masjid lebih berharga ketimbang nyawa dan harta benda, masjid kami ditutup oleh tentara Yahudi." Lalu saya membayangkan bagaimana kesedihan yang menghimpit mereka saat kakinya tak bisa melangkah ke teras masjid.
Saya jadi ingat air mata Yasser begitu derasnya, ketika sampai pada bagian cerita terusirnya rakyat di negeri para nabi itu dari masjid mereka, ketika mereka tidak bisa menjalankan ibadah serta aktifitas kegamaan mereka di masjid. Wallahhu alam…..