Pandemi Rasialisme di AS Bunuh George Floyd

Sistem sosial-hukum AS secara struktural dinilai rasis hingga George Floyd terbunuh.

AP/John Minchillo
Saudara laki-laki George Floyd, Terrence Floyd berbicara kepada orang banyak saat rapat umum di Cadman Plaza Park, pada hari Kamis, 4 Juni 2020, di wilayah Brooklyn di New York. Floyd, seorang lelaki Afrika-Amerika, meninggal pada 25 Mei setelah seorang perwira polisi kulit putih Minneapolis menekan lutut ke lehernya selama beberapa menit bahkan setelah dia berhenti bergerak dan memohon udara.
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, MINNESOTA -- Dalam upacara berkabung, pengacara George Floyd mengatakan pandemi rasialisme memicu kematian laki-laki berusia 46 tahun itu. Mereka yang berkumpul dalam upacara digelar pada Kamis (4/6) itu mengheningkan cipta selama 8 menit 46 detik yang merupakan lama mantan petugas polisi Derek Chauvin mencekik Floyd dengan lututnya.

Baca Juga


Ratusan orang yang menghadiri acara itu mendengarkan pidato menyentuh aktivis hak sipil Rev Al Sharpton. Ia mengatakan sudah waktunya berdiri dan mengatakan 'tarik lutut kamu dari leher kami'.

Pembunuhan Floyd yang direkam video memicu amarah dan protes di seluruh kota di Amerika Serikat. Dalam upacara berkambung tersebut pengacara Benjamin Crump mengatakan bukan pandemi virus corona yang membunuh Floyd.

"Ini pandemi lain, pandemi rasialisme dan diskriminasi," kata Crump, seperti dilansir dari BBC.

Upacara itu dihadiri keluarga Floyd, Reverend Jesse Jackson, Gubernur Minnesota Tim Walz, Senator Minneasota Amy Klobuchar, Wali Kota Minneapolis Jacob Frey dan ratusan orang lainnya. Salah satu saudara George yakni Philonise Floyd menceritakan kisah keluarga mereka.

Ia mengatakan saat ia dan George masih kecil keluarga mereka sangat miskin, sehingga mereka harus mencuci pakaian di wastafel dan mengeringkannya di oven.

"Ini gila, semua orang ini datang untuk melihat saudara saya, ini menyentuh begitu banyak hati," katanya.

Sementara itu, Rev Al Sharpton menuntut pertanggungjawaban. Ia menyinggung tentang unjuk rasa yang berlangsung sejak satu hari setelah Floyd meninggal dunia.

"Kami tidak akan berhenti, kami akan terus maju hingga kami mengubah seluruh sistem keadilan," katanya.

Sharpton mengatakan apa yang terjadi pada Floyd terjadi setiap hari, di pendidikan, di layanan kesehatan, dan di setiap wilayah kehidupan warga Amerika. "Ini waktunya untuk berdiri di atas nama George dan mengatakan 'tarik lutut kami dari leher kami'," kata Sharpton.  

Organisasi Human Rights Watch menjelaskan rasialisme yang terjadi di Amerika dari dulu hingga sekarang. Direktur Program HRW di AS Nicole Austin-Hillery mengatakan rasa marah dan frustasi yang memicu unjuk rasa besar-besaran di seluruh Amerika.

"Ini lebih dari pada  tindakan kriminal petugas polisi yang membunuh George Floyd," kata Austin-Hillery.

Menurutnya gelombang protes itu lebih tentang sistem penegakan hukum yang tidak menyamakan nilai kemanusiaan semua orang. Austin-Hillery menambahkan kondisi itu mengorbankan begitu banyak nyawa warga kulit hitam.

Unjuk rasa di seluruh AS tidak hanya berdasarkan satu insiden yang merenggut nyawa George Floyd. Tapi juga atas nama Eric Garner, Philando Castile, Alton Sterling, Delrawn Small, Terence Crutcher, Breonna Taylor, dan banyak warga kulit hitam yang tewas dibunuh polisi.

Hal itu termasuk pembunuhan Ahmaud Arbery, seorang pemuda berusia 25 tahun yang tewas ditembak saat sedang lari sore di George. Arbery tewas ditembak dua orang kulit putih bagi Austin-Hillary kasus Floyd seperti gunung es.

"Harusnya tidak perlu rekaman video pembunuhan laki-laki kulit hitam yang dilakukan polisi yang mendorong keprihatinan atas perlakuan buruk yang diterima warga kulit hitam dan cokelat setiap hari, kasus terburuknya hanya pucuk gunung es dari sistem yang secara struktural rasis, tidak hanya satu tindakan polisi jahat," kata Austin-Hillery.

Baca laporan lain tentang protes anti-rasialisme di AS: 

Kematian George Floyd dan Ledakan Protes Rasialisme di AS

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler