Sidebar

Subsidi Silang Haji Reguler Diminta untuk Dihapuskan

Monday, 08 Jun 2020 10:26 WIB
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR diminta segera menghapus subsidi silang dalam penyelenggaraan ibadah haji reguler. Perbaikan tersebut untuk mencegah terjadi masalah seperti yang dialami jamaah umrah First Travel dan Abou Tour.


"Masih ingat di benak publik sistem subsidi silang semacam itu dilakukan oleh beberapa perusahaan travel swasta seperti First Travel dan Abou Tour," kata Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj kepada Republika, Senin (8/6).

Mustolih menyampaikan, pemberangkatan jamaah umrah dua perusahaan travel besar ini  diambil dari pembiayaan subsidi oleh calon jamaah umrah yang mendaftar berikutnya. Sebagai konsekuensi dari promosi dengan membanting harga sangat murah jauh di bawah standar. 

Kemudian apa yang terjadi? Kata Mustolih, dua perusahaan tersebut itu akhirnya gagal mengelola uang setoran awal yang diputar diberbagai investasi sebagai sumber subsidi. Menurut dia, mereka ternyata jeblok tidak memperoleh keuntungan. Dia meminta kegagalan mereka jangan sampai kembali dilakukan pemerintah melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

"Ratusan ribu calon jamaah umrah dari dua travel tersebut pun gagal berangkat ke tanah suci, mereka tertipu, uang setoran juga raib tidak kembali," ujarnya.

Konsekuensi dari kejadian itu pimpinan dua perusahaan tersebut harus berhadapan dengan proses hukum dan kemudian divonis masuk bui sampai belasan tahun. Tidak cukup sampai disitu, dia menjelaskan, mereka juga dijerat dengan undang-undang pencucian uang, semua asetnya dirampas negara. "Pada akhirnya gagal mengelola uang jamaah umrah merana," katanya.

Mustolih berharap, hal semacam itu tidak boleh terjadi dalam pengelolaan dana haji. BPKH diminta hati-hati dalam memilih skema investasi. Badan ini harus transparan kepada publik, karena dana haji bukan dana siluman dan memberikan sistem bagi hasil yang adil dan proporsional kepada calon jamaah haji (tunggu) sebagai pemilik dana (shahibul maal). 

BPKH juga diminta berkonsultasi kepada MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammdiyah dan ormas Islam berpengaruh lainnya terkait dengan skema akad wakalah yang benar-benar sesuai syariat (syaria compliance). Sampai sekarang mekanisme, syarat, aturan akad serta pembagian keuntungan sistem wakalah dana haji belum diatur secara teknis.

Padahal menurut Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji menjadi tanggungjawab BPKH. Ketentuan ini harus menjadi pijakan BPKH dalam mengelola keuangan haji."Jangan sampai BPKH lalai dengan tugasnya," kata dia.

 

Berita terkait

Berita Lainnya