Pihak Pers Minta Pasal Terkait Pers di Omnibus Law Dicabut
Pihak pers minta pasal terkait pers dalam omnibus law dicabut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat dengar pendapat bersama konstituen pers terkait pengaturan pers di omnibus law RUU cipta kerja, Kamis (11/6). Dalam hal ini, pihak pers meminta pasal terkait pers di RUU tersebut dicabut.
Pandangan pihak pers dalam rapat tersebut disampaikan oleh Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). "Usulan kami RUU cipta kerja menghapus yang berkaitan dengan pengaturan sektor pers," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Agung Dharmajaya dalam rapat tersebut.
Dalam hal ini, pihak pers menyoroti sejumlah pasal yang sudah diatur dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers bersinggungan langsung dengan sejumlah pasal di omnibus law. Pasal tersebut adalah pasal 11 dan 18 UU Nomor 40/1999. Pasal 11 dalam UU Pers mengatur soal penanaman modal asing berbunyi: "penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal". Adapun perubahannya di omnibus law cipta kerja berbunyi: "pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman moda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal".
Ketua AJI Abdul Manan dalam rapat bersama Baleg tersebut mempermasalahkan klausa pemerintah pusat mengembangkan usaha pers. "Ini menimbulkan pertanyaan. Jadi, seperti ingin memberikan peran baru pada pemerintah pusat dalam mengembangkan pers," katanya.
Pihak pers juga menyoal permasalahan soal kenaikan denda pada pihak yang menghalangi kinerja pers maupun perusahaan pers yang melakukan pelanggaran. Dalam UU Pers, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kinerja dihukum pidana penjara paling lama dua tahun atau denda Rp 500 juta. Ketentuan tersebut masih sama di omnibus law, tetapi dendanya dinaikkan menjadi Rp 2 miliar.
Sementara itu, di UU Pers perusahaan pers yang melanggar ketentuan dikenai denda Rp 500 juta. Dalam omnibus law cipta kerja, denda dinaikkan sampai Rp 2 miliar. Kenaikan denda tersebut dipermasalahkan pihak pers. Pasalnya, dari segi penegakan hukum pers, polisi lebih sering menggunakan pidana umum pada pihak yang menghalangi kinerja jurnalistik. Sementara itu, denda bagi perusahaan pers juga dinilai terlalu besar.
"Bagi kami concern-nya pemberian sanksi itu dengan semangat mendidik, bukan membangkrutkan. Dewan tahu iklim ekonomi pers. Syarat permodalan pers saja 50 juta, tapi kalau sanksinya 2 miliar, semangatnya membumihanguskan, bukan mendidik," kata Abdul Manan.
Pada RUU cipta kerja, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan pemerintah. Hal ini juga dipermasalahkan. Pasalnya, pers seharusnya bersifat independen atau self regulatory.
"UU Pers tidak punya turunan. Turunan dari UU Pers adalah aturan dari Dewan Pers, misalnya juknis. Mandat dari undang-undang adalah self regulatory. Jadi, turunan dari UU dibahas oleh Dewan Pers dan konstituennya," kata anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli. Pihak pers pun menyayangkan penyusunan awal RUU cipta kerja oleh pemerintah yang tak mengajak sama sekali pihak pers dalam penyusunan ini.