Sidebar

Bonjour Musulman: Jejak Islam di Prancis Selatan

Friday, 12 Jun 2020 05:17 WIB
kota tua L Écusson

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller


“Kalau tidak ada kentang, mengapa mereka tidak makan baguette (roti Prancis yang bentuknya panjang dan keras)?”

Kalimat itu sangat terkenal. Diucapkan Marie Antoinette, Ratu Prancis terakhir yang nasibnya berada di ujung pisau Guillotine. Kepalanya dipenggal saat revolusi Prancis terjadi.

Mengapa terkenal? Karena diucapkan saat rakyatnya bergelimpangan mati kelaparan. Jangankan membeli baguette yang harganya lebih mahal, kentang pun sudah tak terbeli.

Sang Ratu tak paham. Karena seumur hidup ia tak pernah merasakan kesusahan. Dalam kehidupannya yang luar biasa glamor, maka wajar bila dia mengatakan dengan enteng: kalau tidak ada kentang, ya, makan baguette.

Hari ini, 11 Juni adalah hari di mana suaminya, Louis Auguste, naik tahta dan mendapat gelar Raja Luis XVI. Penabalan sebagai raja tepatnya pada 11 Juni 1775. Suami-istri ini adalah pasangan kontroversial. Dinikahkan untuk kepentingan politik dua negara, Perancis dan Austria. Menjalani kehidupan yang luar biasa mewah di saat rakyatnya banyak yang mati kelaparan. Hingga menyulut terjadinya revolusi Perancis.

Saya membaca sejarah revolusi Perancis pertama kali saat SMP. Melalui komik berseri yang sangat gampang dicerna anak seusia saya pada waktu itu. Komik itu di antara sangat sedikit komik yang saya baca. Karena saya tak terlalu menikmati cerita bergambar.Dan itu satu-satunya komik yang bukan cerita Islam yang diizinkan Papi untuk saya baca.

Setelah dinobatkan menjadi raja, Luis XVI menunjuk satu kota bernama Montpellier sebagai ibu kota provinsi Bas Languedoc.

Penunjukkan itu membuat kota Montpellier kembali menggeliat, karena banyak bangsawan yang membangun kastil dan rumah mewah di sana.  Sampai hari ini peninggalan itu masih bisa kita saksikan di kawasan kota tua L Écusson. Yang menarik, tata kotanya berbentuk labirin dengan banyak bangunan bercirikan arsitektur mudejar alias arsitektur Islam Andalusia.

 Bagaimana bisa? Berabad sebelum penunjukan oleh Luis XVI itu, Montpellier merupakan salah satu titik penting perkembangan Islam di Andalusia. Kota itu menjadi gerbang penyebaran tradisi keilmuwan di Perancis Selatan. Madrasah-madrasah didirikan. Tak hanya menampung pelajar Muslim, namun juga Nasrani dan Yahudi.

Mereka mendapatkan pendidikan dan belajar bahasa Arab. Tak heran kalau bahasa Arab digunakan untuk berinteraksi keseharian penduduknya.

Pada abad ke-13, Montpellier merupakan pusat bagi studi astronomi dan kedokteran Islam, seperti diungkap ilmuwan Charles Homer Hakins.

Salah satu buktinya adalah didirikannya Universitas Montpellier dengan jurusan kedokteran sebagai fakultas pertama. Para pengajarnya adalah dokter-dokter Muslim.

Manuskrip berupa buku ajar kedokteran berbahasa Arab masih bisa dilihat di museum kota. Kitab-kitab kedokteran yang menjadi rujukan di antaranya yang ditulis al-Zahrawi, Abu Djaafar Ahmad ibnu Ibdahim, Ibnu Sina, dan Ibnu Massawih al-Maradani.

Pada masa itu fakultas kedokteran telah dilengkapi dengan taman botani untuk menanam bermacam tanaman obat. Dan memiliki laboratorium untuk melakukan pembedahan anatomi tubuh manusia yang pertama kali di Perancis. Catat ya, itu semua dilakukan oleh dokter-dokter Muslim.

Menariknya lagi, sampai sekarang Montpellier tersohor karena reputasinya sebagai kota pelajar untuk sekolah kedokteran.

Jadi kalau hari ini Prancis termasuk 10 negara dengan sentimen anti Islam tertinggi di Eropa, sungguh mereka buta sejarah.

Berita terkait

Berita Lainnya