Kisah Dua Abdurrahman yang Dikenang Peradaban Islam
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller
Beberapa hari lalu beredar kabar tentang seorang Pangeran yang menghabiskan 2,2 miliyar untuk bermain game online DOTA 2. Kabar kian ramai karena diposting seorang ustadz di akun sosial medianya. Belakangan diketahui kabar itu tidak terkonfirmasi.
Transaksi senilai itu betul ada, nama yang digunakan pun nama Sang Pangeran. Namun, tidak bisa dibuktikan apakah itu betul yang bersangkutan atau hanya gamer yang menggunakan nama sama.
Postingan itu kemudian dicabut disertai klarifikasi dan permintaan maaf. Selesai? Ya namanya di sosial media, terus saja “kesalahan” itu diviralkan kemana-mana.
Dan memang tidak sepenuhnya salah sebenarnya. Karena nama Pangeran itu memang kontroversial. Banyak kabar miring seputar kehidupan pribadinya. Tak heran, begitu tersiar kabar burung, orang langsung mempercayainya. Sepertinya pepatah, “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya,” pas sekali untuk menggambarkan imagenya.
Banyak sekali penguasa di dunia ini yang dicatat sejarah sebagai pemimpin yang tercela. Sebaliknya, sedikit sekali yang dikenang dengan tinta emas. Di antara yang sangat sedikit itu ada dua nama Abdurrahman dari Andalusia.
Yang pertama adalah Abdurrahman bin Muawiyah. Kejatuhan Daulah Umayyah di Damaskus menyisakan seorang penerus yang berhasil lolos dari kejaran pasukan Abbasiyah.
Dengan kegigihan dan keberaniannya, ia berhasil mencapai Andalusia seorang diri di usianya yang baru 19 tahun. Terbayang ya, seusia anak SMU! Menyusuri negeri Syam, melintasi dinginnya gurun Sinai di Mesir, berenang menyeberangi sungai Eufrat di Irak, hingga berhasil sampai Afrika, tanah leluhur Ibunya.
Ia terus diburu. Dengan keberaniannya, Sang Pangeran terlunta-lunta hingga mencapai daratan di semenanjung Iberia. Tanah yang berhasil dibebaskan leluhurnya. Yang sekarang kita kenal sebagai Eropa.
Atas kegigihannya itu, ia mendapat gelar Ad-Dakhil atau Sang Pendobrak. Ia adalah orang yang membawa Andalusia yang awalnya hanyalah sebuah wilayah kecil menjadi pusat peradaban dunia.
Ia dirikan Masjid Cordoba dengan biaya tak kurang dari 800.000 dinar emas. Masjid yang selama berabad-abad menjadi pusat penyebaran cahaya hidayah dan pengetahuan.
Ia muliakan para alim dan ulama. Ia berikan rasa aman dan keadilan untuk rakyatnya. Ia berikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pencari ilmu.
Hasilnya, Andalusia menjadi negeri sejuta cahaya. Pusat peradaban dan pengetahuan, tempat segala hal hebat berawal. Seribu dua ratus tahun setelah kedatangannya, di wilayah yang sekarang bernama Almuñécar atau dalam bahasa Arab disebut Al-Munakab didirikan patungnya sebagai pengakuan tanah Eropa berhutang besar padanya.
*******
Abdurrahman berikutnya adalah cucunya yang bergelar Abdurrahman An-Nashir atau Abdurrahman III. Pada masanya kesejahteraan Andalusia tak terbayangkan oleh manusia.
Ia dirikan pusat kota yang bernama Madinah Az-Zahra. Penduduknya setengah juta orang. Kota terbesar kedua di dunia setelah Baghdad yang ditinggali dua juta orang. Di dalamnya terdapat 3000 masjid, 900 pemandian umum, 700 perpustakaan, madrasah, bimaristan (rumah sakit), taman kota dan bukti-bukti kemajuan peradaban lainnya.
Suatu ketika Andalusia dilanda kekeringan, Sang Khalifah meminta rakyaknya untuk berjamaah shalat Istisqa dengan imam Al Qadhi Mundzir bin Saad. Ia sendiri ikut dalam jamaah itu dan larut dalam munajad-munajad panjang.
Belum lagi orang-orang meninggalkan tempat shalat, hujan deras mengguyur bumi. “Ketika raja bumi telah khusu’ dan mengakui dosa-dosanya, maka Penguasa Langit pasti akan merahmatinya,” kata Sang Qadhi.
Seribu tahun tahun kemudian, tepatnya tahun 1963, untuk memperingati wafatnya Abdurrahman An Nashir, Spanyol mengadakan perayaan besar untuk menghormati jasa-jasanya.
Bahkan ketika Eropa begitu membenci Islam melalui peristiwa Reconquista dan pemberlakuan Inquisition atau hukum inkuisisi, mereka tak bisa menutup hati. Tanpa Islam, Eropa tak akan seperti yang terlihat hari ini.