Lucuan Gus Dur dan Hitler: Tertawalah Sebelum Dilarang
Tertawalah Sebelum Dilarang
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Suatu hari di awal pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) ada perhelatan akbar PKB di Stadion Istora Senayan. Waktu itu pengunjung hampir memenuhi seluruh tempat duduk. waktu itu tampil aneka sajian dari baca Alquran, Shalawatan, hingga musik pop. Salah satu psohor yang saat itu tampil adalah penyanyi bersuara bariton, Bob Tutupoli. Dan seingat saya, kalau tidak salah dia merangkap jadi pembawa acara.
Dan memang Gus Dur saat itu jadi magnet. Pidatonya yang segar dan penuh humor selalu ditunggu. Para wartawan kerap memuatnya dalam medianya. Bahkan kemudian ada yang mengumpulkan humor ala Gus Dur.
Sore itu dari arah bawah panggung saya menymak betul apa isi pidatonya. Bob Tutupoli yang setelah mempersilahkan Gus Dur bicara, kini berdiri mencakung persis di sampaung saya sembari pandangannya terus memperhatikan Gus Dur yang tengah berpidato. Berulangkali dia berdecak, tertawa, dan menggeleng kepala tanda kagum kepada Gus Dur.’’Hebat,, Hebat,, ya begitu Presiden Indonesia,’’ ujarnya.
Dan Gus Dur sore itu pidato dengan memukau. Seperti biasaya dia bicara dengan gaya rakyat kebayakan, dengan bahasa tak terlalu tinggi atau juga kayak gaya banyak elite negeri lainnya yang bicara cmpur campur kaya mandor perkebunan kompeni: berbahasa Indonesia dengan acak adul bercampu istilah Inggris atau bahasa asing lainnya. Gus Dur piawai memukau massa.
Pada awal pidatonya dia bercerita tentang kisah dirinya semasa kecil ketika tinggal di kawasan Menteng selalu anak menteri agama pertama RI. KH wahid Hasyim. Dia mengaku semenjak kanak sudah kenal dan bertemu langsung dengan para tokoh legendaris dalam yang ada dalam buku-buku sejarah Indonesia. Kala itu dia mengisahkan pengalamannya ketika bertemu pertama kali dengan Tan Malaka.
‘’Kala itu, pada suatu malam tiba-tiba pintu rumah diketuk, pertanda ada tamu yang datang. Saya yang kebetulan beradadi di dekat ruang tamu segera membuka pintu. Dan saya kaget bukan main, sebab kini berdiri seseorang dengan pakaian dan topi petani meminta bertemu dengan bapak. Pada waktu yang bersamaan bapak kebetulan yang bermaksud juga ke ruang tamu eelihatnya. Uniknya bapak kemudian menjabatnya sangat erat dan mengajak petani itu duduk. Mereka kemudian berbicara akrab. Saya ikut mendengar pembicaraan mereka. Nah, ketika di tengah pembicaraan itu bapak memberi tahu orang itu adalah Tan Malaka,’’ tukas Gus Dur dalam pidatonya.
Mendengar Gus Dur bicara begitu semua orang yang ada di dalam stadion semakin memperhatikannya. Dan sesudah bicara panjang lebar agar bangsa Indonesia segera bersatu setelah terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, Gus Dur tentu saja tak lupa membuat cerita humor agar suasana tak menjadi kering. Dan gaya pidato yang diselingi humor ini pun sebenarnya bukan khas dia saja, tapi hampir seluruh Kyai NU pandai membuat joke ketika berbicara di depan umum. Humor Gus Dur itu begini:
Alkisah, pada suatu hari seorang pemburu tersesat di sebuah rimba yang terdapat banyak harimau yang kelaparan. Kebetulan saat itu karena musim kemarau panjang binatang yang menjadi mangsa para macam sudah menyingkir ke ke luar dari hutan unuk mencarim tumbuhan atau dedaunan hijau yang bisa dijadikan makanannya.
Nah, karena tersesat maka bekalnya pun habis dan peluru senjata buruannya pun sudah tak punya. Dia pun makin panik karena sudah seharian dia hanya berputar-putar saja di dalam hutan. Dia pun membatin kalau terus begini pertanda dia sebentar lagi bakal di mangsa si raja hutan atau hariau.
Dan benar saja, baru saja usai membatin akan ancaman itu. melompatlah sebuah harimau yang hendak menerkamnya. Untung saja si pemburu sigap, dia berhasil lolos dari maut karena disaat haimau melompat dia sempat menghindar dengan cara melompat ke samping sejauh mungkin. Maka terkaman harimau pun gagal.
Tapi lolos dari terkaman pertama, harimau lain berusaha menerkamnnya juga. Tak ayal lagi dia kini berlari menghindar secepat-cepatnya. Tapi harimau yang tadi sempat menerkam kini bersama-sama memburunya. Maka, tak ada jalan lain, si pemburu itu berlari dan terus berlari.
‘’Jadi ke manapun pemburu berlari kawanan harimau yang lapar itu terus membuntutuinya. Dan akhirnya kini pemburu tiba pada suatu keadaan yakni sampai ke tepi jurang yang dalam. Kalau dia nekad menerjang maka dia akan matu terperosok de dasar jurang yang dalam dan berbatu-batu. Tubuhnya pasti akan berkeping-keping. Maka kini pemuda bergidik dan kebingungan karena tahu ajalnya kini sudah akan tiba,’’ kata Gus Dur.
Maka di tengah keputusasaanya tiba-tiba teringat akan nasihat guru agamanya semasa kecil.’’Ternyata si pemburu adalah orang beragama Katolik yang taat. Maka seketika itu dia teringat ajaran pastornya yang mengatakan bila mencapai kebuntuan hidup, maka berpasrahlah kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Alhasil, dia segera bersimpuh memejamkan mata serta mengucapkan doa bapa kami itu,’’ lanjut Gus Dur.
Benar saja pemburu yang tersesat itu berdoa dengan sangat khusyu. Cukup lama dia berdoa dan melafkan semua doa dari yang penah dipelajarinya. Semenit dua menit, bahkan hingga sepuluh menit dia berdoa, dan anehnya pemburu merasa dan bertanya dalam hati mengapa dirinya belum dimangsa juga oleh harimau padahal dia tahu sekali kawanan harimau sebelumnya sudah sangat di dekatnya. Ada apa ini batin, si pemburu.
Maka dengan hati-hari dia membuka mata serta menengok kanan dan kiri. Ternyata tak ada satu pun harimau. Dia pun merasa lega. Tapi ketika kemudian menoleh ke belakang dia menjadi sangat terkejut. Harimau beserta rekan-rekannya persis berada di belakangnya. Tapi dia merasa aneh, mengapa hari mau juga ikut duduk berjejer di belakangnya seolah-olah juga ikut berdoa.
‘’Karena saat itu hewan masih bisa bicara seperti manusia, maka dengan masih diliputi rasa takut, si pemburu memberanikan diri bertanya kepada harimau yang paling besar yang berada persis di belakangnya. Pemburu itu bertanya: mengapa kamu tidak segera memangsa saya,’’ kata Gus Dur menirukan pertanyaan si pemburu kepada harimau yang terbesar dan ternyata bertindak menjadi pemimpin kawanan.
‘’Saya tahu anda tengah berdoa. Maka kami harus sabar menunggu.”
“Kamu kan tahu bisa maemangsa saya kapan saja. Saya sudah pasrah dalam doa,’’ tukas pemburu. Dia kemudian berkata," Jadi kamu masih punya rasa kemanusian pada saya,’’ tanya pemburu lagi.
‘’Iya, sebab saya juga harimau yang beragama,’’ jawab harimau dengan enteng dan makin membuat penasaran si pemburu.
‘’Lalu apa agamamu apa hai harimau,’’ tanya pemburu.
‘’Saya harimau Katolik, sama dengan agama anda dan pastor anda.”
‘’Oh begitu, syukurlah. Tapi omong-omong tadi kamu baca doa apa? Sebab yang saya lihat kamu menekuk bandan dalam posisi seperti bersimpuh serta memangku tangah di depan dada sembari menutup keuda mata,’’ tanya pemburu penasaran.
‘’Oh itu. Kami tengah membaca doa sebelum makan,’’ jawab harimau enteng.Mendengar jawaban ini si pemburu langsung pingsan.
Dan, etika mengakhiri ceritanya, sontak seluruh stadion menjadi penuh tawa. Humor rupanya membuat semua orang yang hadir bahagia. Tak ada seorang pun yang tersinggung atau kala itu kemudian melaporkan Gus Dur melakukan pelecehan atau penodaan agama. Bob Tutupoli yang mendengarnya dan beragama Nasrani pun bersikap biasa saja. Sampai hari ini, atau dua puluh tahun kemudian, tidak ada pihak yang keberatan, marah, atau tersinggung atas 'joke' yang dibuat Gus Dur itu. Tak ada yang melaporkannya ke polisi.
Lagi pula, dalam soal urusan hukum lapor melapor terkait dengan sebuah lucuan, ada nasihat berupa pepatah Jerman yang berbunyi begini: Humor itu ada sebagai pertanda manusia masih hidup. Dan di sana pun benar-benar sudah dipraktikkan.
Pada zaman fasisme Hitler misalnya tak ada orang Jeman yang masuk ke penjara ketika melucu atau bahkan terkesan menglok-olok elite partai Nazi. Mereka paling-paling dianggap pemabuk atau orang yang kecanduang alkohol hingga otak dan mulutnya seringkali tak sadar sehingga omongannya ngelantur. Bayangkan, di zaman Hitler ada joke atau lucuan yang sangat kurang ajar kepada partai yang berkuasa, yakni Partai Nazi. Guruan itu begini:
Menjelang tahun awal di dekade 1930-an, di ditengah puncak kekuasaan Partai Nazi yang dipimpin Hitler ternyata masih ada orang yang berani membuat lucuan atas model salam "Heil Hitler"--yang dilakukan dengan cara memberi hormat dengan lengan terentangnya--sebagai sesuatu yang konyol. Candaan ini dilakukan seorang direktur sirkus kota di Jerman bagian barat, Paderborn, yang dia ternyata seorang oposan partai Sosial Demokrat (Nazi).
Konyolnya, entah kenapa saat itu dia berani melatih simpanse-simpanse sirkusnya untuk mengangkat lengan kanan (menghormat ala salam Heil Hitler) setiap kali mereka melihat orang mengenakan seragam. Bahkan, para simpanse ini selalu memberi hormat kepada tukang pos yang datang ke rumahnya. Para binatang yang menyerupai manusia itu ternyata terkesan dengan seragam si-tukang pos.
Tak ayal lagi tingkah direktur sirkus kota Padebron memicu kehebohan publik. Waktu itu karena Hitler tengah berkuasa maka dia pun dikecam atau istilah generasi milenial "di-bully" habis-habisan. Pak Direktur Sirkus kemudian menerima pemberitahuan resmi dari pihak berwenang yang secara resmi melarang simpansenya memberi hormat dengan meniru salam Heil Hitler tersebut. Bahkan, tak hanya itu dia pun mendapat ancaman pembunuhan. Tapi kemudian ternyata hanya sebatas itu saja, direktur sirkus kota Padebron di masa berikutnya aman-aman saja.
Lelucon lain yang menggambarkan kehidupan di bawah Nazi yang serba tegang dan serba mengacu pada ideologi partai (negara) terekam pada lucuan berupa dialog seorang pemuda Jerman kepada pacarnya.
"Ayah saya di SA (Sturmabteilung, organisasi paramiliter Partai Nazi , kakak tertua saya di SS (Partai Nazi), adik lelaki saya di HJ (Hitler Youth), ibu saya adalah bagian dari organisasi wanita Nazi, dan saya di BDM (kelompok organiasi pemuda Nazi)," kata seorang pemuda Jerman kepada teman gadisnya.
"Apakah kamu pernah bisa bertemu satu sama lain?" tanya balik sang gadis itu.
"Oh, ya, tentu kita bertemu setiap tahun dalam rapat umum partai di Nuremberg!" jawabnya kalem. Sang gadis hanya menanggapi dengan sinyum simpul. Dia pun berguman: Alangkah patriotiknya pacar saya. Semua demi negara. Semua demi Nazi dan Hitler.”
Nah, lucuan itu hanya salah satu dari sekian banyak candaan pada zaman Hitler yang menyebar ke seantero Jerman. Dan akibat saking banyaknya komentar atau lucuan yang kadang menohok seperti itu, pihak elite Nazi kemudian mengeluarkan undang-undang pada tahun 1933 dan 1934 yang isinya melarang komentar mengkritik rezim.
Untungnya saja aturan hukum itu tak bersifat fatal. Imbas atuan ini hanya membuat kasus-kasus pengadilan yang mencoba mengadili kasus terkait lucuan yang dianggap mengejek elite, hanya menghasilkan hukuman peringatan atau denda saja. Para hakim biasanya memeri sanksi ringan karena dianggap si pembuat lucuan hanya seorang pecandu alkohol sehingga mengoceh tak keruan karena tengah mabuk.
Dan kemudian, Hitler sendiri pada masa tahun 1940-an, malah kemudian memakai lucuan atau komedi sebagai bahan penyegar dari kejenuhan para prajurit dan rakyat Jerman yang kala itu hidup dalam suasana perang. Alhasil, film-film komedi yang misanya memparodikan kekonyolan tentara Italia, dijadikan alat hiburan di segenap penjuru negara hingga kawasan medan perang. Sosok diktator Italia, Musolini, dipalai sebagai bahan ledekan. Lelucon tentang kekonyolan pasukan Italia yang tidak terorganisasi disebarluaskan.
Akhirnya, tak usahlah ‘baperan’ ya. Ingat nasihat legenda komedi Warkop DKI Kasino: Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Sebab, memang benar juga kata mendiang Teguh Srimulat: Lucuan itu sesuatu yang aneh!
Makanya jangan cepat salah paham. Ayo ngguyu (Mari tertawa) seperti kata Mbak Waljinah dari Solo dalam lagu berikut ini: