AS Terapkan Pembatasan Visa terhadap Pejabat China
AS memberlakukan pembatasan visa kepada para pejabat China
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengatakan negaranya memberlakukan pembatasan visa kepada para pejabat China yang bertanggung jawab membatasi kebebasan di Hong Kong. Hal itu diumumkan menjelang pertemuan parlemen China yang diperkirakan akan memberlakukan undang-undang (UU) keamanan nasional untuk Hong Kong.
Pompeo mengungkapkan pembatasan visa berlaku bagi para pejabat Negeri Tirai Bambu yang merongrong otonomi tingkat tinggi Hong Kong. “Presiden (Donald) Trump berjanji menghukum pejabat-pejabat Partai Komunis Cina (PKC) yang bertanggung jawab mengeluarkan isi kebebasan Hong Kong. Hari ini kami mengambil tindakan untuk melakukan hal itu,” katanya pada Jumat (26/6).
Dia menuding China menekan otoritas lokal untuk menangkap para aktivis demokrasi dan mendiskualifikasi kandidat pemilu. “AS akan terus meninjau otoritasnya untuk merespons masalah ini,” ujar Pompeo.
Dalam keterangannya, Pompeo tak menyebut jumlah atau nama para pejabat yang dikenakan sanksi pembatasan visa. Menurut laporan Bloomberg, mengutip pejabat Departemen Luar Negeri AS, jumlahnya masih dalam satu digit.
Juru bicara Kedubes Cina di AS Fang Hong telah mengkritik sanksi pembatasan visa tersebut. Dia menegaskan bahwa UU keamanan nasional yang dibuat negaranya hanya menargetkan kategori tindakan yang sangat spesifik yang secara serius mengancam atau membahayakan keamanan nasional.
“Kami mendesak AS untuk segera memperbaiki kesalahannya, menarik keputusan (penerapan sanksi pembatasan visa), dan berhenti mencampuri urusan dalam negeri China,” kata Fang.
Kongres Rakyat Nasional China telah mengesahkan UU keamanan nasional untuk Hong Kong pada 28 Mei lalu. UU itu akan memperkuat kontrol Beijing atas wilayah semi-otonom tersebut.
Bagi Hong Kong UU keamanan nasional dipandang sebagai jerat yang mengancam kebebasan. Sebab dengan UU itu parlemen China akan memiliki wewenang menetapkan kerangka hukum, termasuk implementasinya, untuk mencegah dan menghukum tindakan subversi, separatisme, termasuk campur tangan asing di Hong Kong.
Tindakan apa pun yang dianggap sangat membahayakan keamanan nasional akan diurus langsung parlemen China. Dengan demikian, warga Hong Kong tak bisa lagi dengan leluasa melaksanakan demonstrasi berjilid-jilid selama berbulan-bulan seperti pada 2019 lalu.