Porsi Belanja Pemerintah untuk Bunga Utang Capai 17 Persen
Kemenkeu memproyeksi rasio utang pemerintah mencapai 37,6 persen terhadap PDB.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan, porsi belanja untuk bunga utang sepanjang 2020 akan berada pada level 17 persen terhadap pengeluaran pemerintah. Angka tersebut naik dibandingkan rata-rata rasio selama ini, yakni sekitar 12 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, kenaikan porsi tersebut menjadi perhatian penuh pemerintah. Sebab, secara langsung, porsi belanja untuk utang akan mempengaruhi konsep fiskal space.
"Ini jadi poin di mana pemerintah harus ekstra hati-hati dalam beberapa tahun ke depan," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Selasa (30/6).
Kenaikan porsi belanja bunga utang ini telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Sementara itu, untuk rasio utang, Kemenkeu memproyeksikan akan mencapai 37,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Level tersebut naik hampir delapan poin percentage dibandingkan realisasi 2019, sekitar 30 persen. "Ini adalah loncatan yang tidak normal karena berada dalam kondisi tidak normal. Dalam kondisi normal, ini tidak akan kita lakukan," ucapnya.
Peningkatan ini tidak terlepas dari pelebaran defisit yang dilakukan pemerintah sebagai dampak dari penanganan pandemi Covid-19.
Semula, proyeksi defisit adalah di kisaran 1,76 persen yang kemudian direvisi menjadi 5,07 persen. Terakhir, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, pemerintah menetapkan defisit APBN akan mencapai 6,34 persen atau sekitar Rp 1.039,2 triliun.
Febrio mengatakan, besarnya defisit, beban utang dan rasio bunga utang ini merupakan konsekuensi penanganan dampak pandemi yang tidak dapat dihindari. "Ini adalah pil pahit yang harus kita telan dan ambil demi menyelamatkan masyarakat yang memang kesusahan di 2020," katanya.
Dengan tekanan yang ada, Febrio menekankan, peranan BUMN, Special Mission Vehicle (SMV) dan Badan Layanan Umum (BLU) harus semakin kuat. Khususnya untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Kemenkeu sendiri mendukung proses restrukturisasi BUMN yang kini tengah dilakukan di Kementerian BUMN untuk menguatkan efisiensi sekaligus meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Sehingga kita bisa cover sebagian kebutuhan pembiayaan dari pajak,” tutur Febrio.
Di sisi lain, pemerintah terus mendorong pendalaman pasar mengingat instrumen yang tersedia di pasar keuangan Indonesia masih sangat terbatas. Dampaknya, Febrio menyebutkan, masyarakat kelas menengah tidak memiliki banyak saluran untuk menaruh tabungannya di dalam negeri.
"Ini harus kita akui dan sadari, sehingga pemerintah berharap bisa mendapatkan dukungan dari DPR untuk bisa melakukan pendalaman pasar lebih serius,' ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, beban dampak Covid-19 mencapai Rp 903,46 triliun dengan beban bunga utang mencapai Rp 66,5 triliun per tahun. Angka tersebut didapatkan dengan asumsi market rate 7,36 persen yang merupakan rata-rata tertimbang yield SBN tenor 10 tahun periode Januari-16 Juni.
Sri mengatakan, Bank Indonesia (BI) akan menanggung 53,9 persen dari total beban bunga utang tersebut atau sekitar Rp 35,9 triliun. Pembagian beban ini berdasarkan pembicaraan terakhir Sri dengan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Saat ini, Kemenkeu dengan BI sedang melakukan finalisasi mengenai perhitungan komponen pembagian beban secara lebih rinci. Dalam hal ini terkait berapa banyak surat utang yang akan diterbitkan ke pasar dan penerbitan dengan private placement. "Ini sedang kami finalkan mengenai komposisi skema burden sharing," ujar Sri dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (29/6).