Komisioner PBB Soroti Kondisi HAM Rohingya di Myanmar
Kondisi Rohingya di wilayah Rakhine, Myanmar dinilai belum membaik.
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michele Bachelet mengatakan kondisi HAM etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, belum membaik. Dengan demikian, proses repatriasi pengungsi Rohingya belum dapat dilakukan.
"Sayangnya, sekali lagi saya harus melaporkan bahwa situasi HAM Rohingya di Negara Bagian Rakhine belum membaik dan bahwa kondisi untuk pengembalian mereka yang aman, bermartabat, dan berkelanjutan dari Bangladesh masih belum ada," kata Bachelet saat berbicara di Sesi ke-44 Dewan HAM PBB pada Selasa (30/6), dikutip Anadolu Agency.
Dia mengungkapkan pembatasan akses kemanusiaan dan kebebasan bergerak terkait dengan pandemi Covid-19 semakin memperburuk situasi di sana. "Selagi saya memuji Myanmar karena mengekang virus sampai saat ini, saya memohon kepada pemerintah menghormati seruan Sekretaris Jenderal (PBB) untuk gencatan senjata global, mengakhiri konflik bersenjata yang semakin meningkat di Rakhine dan mengatasi akar penyebab yang telah mencegah Rohingya kembali sejak 2017," ucapnya.
Bachelet mengungkapkan penduduk sipil di negara bagian Rakhine serta Chin, termasuk beberapa komunitas minoritas, terus menanggung beban dari konflik bersenjata yang meningkat antara militer (dikenal dengan nama Tatmadaw) dan kelompok gerilyawa Arakan Army.
Akhir pekan lalu, misalnya, Bachelet menyebut Tatmadaw meluncurkan apa yang disebut "operasi pembersihan" di daerah Kyauktan di kota Rathedaung, Rakhine. Warga di sana diminta meninggalkan rumahnya masing-masing.
Mereka yang tetap tinggal akan dianggap sebagai anggota Arakan Army. Konsekuensinya, warga terkait bakal menjadi sasaran operasi. Bachelet meminta Tatmadaw memperpanjang gencatan senjata di daerah-daerah lain di Rakhine dan Chin. Dia pun mendesak agar operasi pembersihan diakhiri.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah Tatmadaw melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Alih-alih memburu gerilyawan, Tatmadaw justru menyerang warga sipil Rohingya. Permukiman mereka dibakar, sementara para perempuan menjadi target pemerkosaan.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.