UU Keamanan Hong Kong Disahkan, China Semakin Otoriter?
UU Keamanan akan memberi kewenangan luas bagi Beijing menentukan hukum di Hong Kong
REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- China mengesahkan Undang-Undang Keamanan Hong Kong yang akan menghukum kejahatan terkait kemerdekaan, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing dengan penjara seumur hidup. Laporan Reuters menggambarkannya sebagai aturan yang menandai era lebih otoriter bagi kota yang sebelumnya penuh kebebasan di bawah China.
Pengesahan Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional baru untuk Hong Kong pada Selasa (30/6) itu diprediksi memicu protes besar-besaran. Hal itu membuat Hong Kong akan menerjunkan ribuan petugas untuk membubarkan protes. Sejak kabar pemberlakuan peraturan baru dilaksanakan di Hong Kong mulai pukul 23.00, aktivis telah menyatakan penentangan dan melarang anjuran polisi. Mereka akan turun ke jalan pada Rabu (1/7).
Media lokal mengatakan, hingga 4.000 petugas akan dikerahkan untuk membubarkan protes. Aktivis terkemuka Joshua Wong dan kelompok pro-demokrasi lainnya mengatakan mereka akan bergerak.
"Kami tidak akan pernah menerima pengesahan undang-undang, meskipun sangat kuat," kata ketua Partai Demokrat, Wu Chi-wai
Jajak pendapat yang dilakukan Reuters menunjukan, mayoritas warga di Hong Kong menentang undang-undang itu. Namun, dukungan untuk protes pun telah jatuh.
"Mari kita berharap tidak ada yang mencoba menguji undang-undang ini, karena konsekuensinya bagi individu dan sistem hukum tidak akan dapat diperbaiki," kata profesor hukum di sekolah hukum Universitas Hong Kong dan seorang pengacara, Simon Young.
Parlemen China mengesahkan aturan tersebut pada Selasa yang akan memberi kewenangan besar bagi Beijing dan membuat perubahan radikal bagi kehidupan kota pusat keuangan global tersebut. Undang-Undang tersebut membuat Beijing lebih jauh bertentangan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan pemerintah Barat lainnya. Negara Barat menyatakan, UU itu telah mengikis tingkat otonomi tinggi yang diberikan kepada Hong Kong pada penyerahan 1 Juli 1997 oleh Inggris.
Inggris dan sekitar puluhan negara Barat mendesak China untuk mempertimbangkan kembali UU itu. Beijing harus mempertahankan hak untuk berkumpul dan kebebasan pers.
Amerika Serikat mengutuk UU tersebut sebagai pelanggaran terhadap komitmen internasional Beijing. Pemerintah Presiden Donald Trump berjanji untuk terus bertindak terhadap pihak-pihak yang meredam kebebasan dan otonomi Hong Kong.
Washington yang telah berselisih dengan China mengenai perdagangan, Laut China Selatan, dan virus corona, mulai menghilangkan status khusus Hong Kong di bawah undang-undang AS pada Senin (29/6). Keputusan itu menghentikan ekspor pertahanan dan membatasi akses teknologi.
China yang telah menolak kritik terhadap penerapan produk hukum itu menyatakan akan membalas sikap Amerika Serikat. Sedangkan Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, dalam sebuah pesan video kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) di Jenewa, mendesak masyarakat internasional untuk menghormati hak negara untuk menjaga keamanan nasional.