Badal Haji karena Pandemi Covid-19, Bolehkah?
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badal Haji merupakan upaya menggantikan atau mewakilkan seseorang untuk berhaji. Dengan syarat, orang yang membadalkan haji harus terlebih dahulu menunaikan haji wajib mereka.
Lalu apakah badal haji menjadi pilihan terbaik saat pandemi Covid-19 ini? Berikut ini penjelasan Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ahmad Sarwat.
Ustaz Sarwat kemudian menceritakan kisah seorang perempuan yang datang mengunjunginya. Perempuan tersebut bertanya, bahwa ibunya sudah lama ingin menunaikan ibadah haji namun belum memiliki kesempatan. Ketika kesempatan datang, namun ibunya sudah meninggal dunia. "Dia ingin sekali berangkat haji, bagaimana ya Rasulullah?" tanya perempuan itu. Kemudian Rosul menjawab, "Ya sudah kamu berangkat haji untuk menghajikan ibumu,"
Dalam istilah ilmu fiqih, kata Sarwat, ini disebut dengan Al Hajju ‘anil Ghoiri, yakni mengerjakan haji untuk orang lain. Hanya saja, di Indonesia lebih dikenal dengan istilah badal, karena menggantikan.
"Cuma di situ ada syarat-syaratnya, kalau orangnya mampu berangkat dan orangnya bisa mengerjakan haji, tidak boleh digantikan oleh orang lain, tapi kalau orangnya tidak mampu karena sudah tua dan sakit-sakitan, itu boleh digantikan orang lain. Kedua kalau orangnya sudah meninggal dan sebelumnya memang sudah ada pesan-pesan (bisa dibadalkan)," terang Sarwat.
Seperti kisah seorang laki-laki yang juga bertanya kepada Rasulullah. Laki-laki tersebut kata Sarwat, ingin menggantikan bapaknya yang ingin haji namun sudah tua rentah dan sakit. Rosulullah, pun mengizinkan.
Lalu bagaimana dengan situasi pandemi saat ini, apakah badal haji dibolehkan?
"Nah, kalau situasi pandemi ini, kan itu halangannya tidak seterusnya, dalam arti masih ada waktu tahun depan. Kan wabah ini tidak selamanya sampai kiamat, jadi dalam kondisi wabah itu belum bisa digantikan orang lain, karena apa? Karena Nabi (Muhammad) pun sempat beberapa kali tidak bisa haji," cerita Sarwat.
Sarwat kemudian mengisahkan saat Nabi Muhammad SAW di tahun ke-6 bermimpi melakukan haji, berihram dengan mengungundulkan atau mencukur sebagian rambut kepalanya. Tapi ternyata Rasul tidak bisa berangkat haji tahun itu, tahun berikutnya, tahun berikutnya, dan tahun berikutnya pun Rasul masih belum bisa berangkat haji.
"Tertunda hingga empat kali atau empat tahun, baru kemudian benar-benar haji di tahun ke-10," ujar Sarwat.
Pada saat tidak dapat melaksanakan haji, terang Sarwat, Rasul tidak lantas meminta tolong sahabatnya untuk menggantikannya berhaji. Karena ujar Sarwat, yang menjadi masalah bukan orangnya melainkan karena situasi yang tidak bisa menuju ke Makkah.
"Karena yang menjadi masalah bukan orangnya tidak bisa ke sana karena sakit atau meninggal. Yang tidak bisa itu tempatnya yang terblokir. Ketika tempatnya terblokir, tidak bisa haji tahun itu dan tidak bisa digantikan, berarti tahun depannya atau tahun depannya lagi. Kecuali tahun depanya mau berangkat ternyata dia sakit atau menunggal, baru haji (badal)," jelas Sarwat.
"Kalau tidak sakit parah, atau meninggal langsung, belum ada istilah badal-badalan," sambungnya.
Sarwat pun mengingatkan kepada para pemukim Indonesia di Saudi untuk tidak sembarangan membadalkan haji. Kalau ingin membadalkan, harus benar-benar seseorang yang dibadalkannya itu dalam kondisi sakit parah.
"Dia kalau membadalkan, yang dibadalkan itu bukan orang yang di Indonesia seger buger, sehat, tapi kalau mau membadalkan, badalkan orang yang sakit atau yang sudah meninggal," sarannya.
Begitu pula dengan calon jamaah haji Indonesia yang batal berangkat tahun ini. Sarwat berharap agar jamaah yang batal ini tidak meminta dibadalkan kerabatnya di Makkah untuk menggantikannya berhaji.
"Kami haji dong gantiin saya. Itu tidak bisa. Karena kitanya sehat, kalau kita sakit dan sakitnya parah udah mau meninggal, dia belum haji maka dia bisa dihajikan," ujar Sarwat lagi.