Saat Lockdown, India Izinkan Umat Hindu Ziarah ke Kashmir

Kasus Covid-19 di India terus meningkat

AP / Mahesh Kumar A.
Seorang wanita mengambil sampel usap hidungnya untuk menguji koronavirus di sebuah pusat kesehatan pemerintah di Hyderabad, India, Rabu (15/7/2020).
Rep: Fergi Nadira Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- Pemerintah daerah Kashmir yang dikelola India memutuskan untuk mengizinkan para peziarah Hindu mengunjungi sebuah gua Himalaya di Amarnath, kota Pahalgam, Jammu dan Kashmir. Keputusan itu dinilai bertentangan dengan kebijakan lockdown atau karantina wilayah oleh pemerintah India untuk mengekang laju penyebaran virus corona tipe baru atau Covid-19 yang semakin meningkat di India.

Baca Juga


Seperti dilansir laman Aljazirah, setiap tahun puluhan ribu umat Hindu rutin mengunjungi gua Armanath Yatra di ketinggian 3.888 meter karena memiliki simbol suci bagi umat Hindu yang disebut "Shiva lingam". Ritual di kota Pahalgam ini akan dimulai pada 21 Juli, tetapi tahun ini diperpendek menjadi dua pekan karena pandemi Covid-19.

Dewan Kuil Shri Amarnathji (SASB), yang mengelola yatra, mengatakan hanya 500 peziarah Hindu per hari yang akan diizinkan untuk melakukan perjalanan ke kuil gua Himalaya dari dewa Siwa Hindu. Agustus tahun lalu, ziarah juga sempat diperpendek sebelum keputusan pemerintah untuk melepaskan Kashmir yang dikelola India dari status khusus yang telah dijamin oleh Pasal 370 konstitusi India.

Awal pekan ini, pemerintah daerah, yang bekerja langsung di bawah kementerian dalam negeri India, mengeluarkan dua perintah simultan. Pertama yakni menutup bagian-bagian Srinagar, kota utama di wilayah Kashmir yang dikelola India, dan kedua, memungkinkan para wisatawan dari luar melakukan perjalanan melalui udara ke wilayah Himalaya yang indah.

Namun demikian, para analis di Kashmir telah menyatakan keraguan atas keputusan pemerintah untuk mengizinkan pergerakan wisatawan dan peziarah ketika bagian-bagian lain Kashmir diperintahkan untuk lockdown. Gowhar Geelani, seorang komentator politik, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa kronologi beberapa keputusan pemerintah yang dikeluarkan sejak 4 Juli menunjukkan bahwa pemerintah memiliki alasan selain masalah kesehatan warga Kashmir di balik perintah ini.

Geelani mengatakan, awal bulan ini, pihak berwenang mengeluarkan perintah larangan semua fungsi politik, sosial, akademik dan keagamaan dan pertemuan besar dan jemaat lainnya di Kashmir. Perintah tersebut diikuti oleh perintah pada 8 Juli untuk membuka taman untuk umum. Tanggal tersebut juga bertepatan dengan peringatan kematian komandan pemberontak Burhan Wani, seorang tokoh penting dalam pemberontakan melawan kendali India atas Kashmir dan dipandang secara lokal sebagai martir. Para pemimpin pro-kemerdekaan menyerukan pemogokan untuk menandai pembunuhannya pada tahun 2016.

"Pada peringatan pertama yang akan datang 5 Agustus mendatang, ketika status politik khusus Kashmir diubah, orang dapat dengan jelas melihat pola. Mereka menciptakan alarm Covid-19 palsu untuk membuka jalan bagi diktat yang kontradiktif dan munafik ini. Apakah ini virus corona berspesifik agama? Jika ziarah satu kelompok agama baik-baik saja, mengapa pertemuan lainnya dilarang?" kata Geelani.

Pengumuman pemerintah yang mengizinkan aktivitas wisata terbatas di Kashmir juga mengherankan. Sebab, para pejabat telah meminta wisatawan lokal untuk segera mengosongkan Pahalgam, salah satu tempat wisata paling banyak dikunjungi di wilayah mayoritas Muslim.

Perintah pemerintah juga mengatakan pemilik hotel harus mengatur perjalanan wisatawan ke situs-situs lokal. Setibanya di bandara wilayah di Srinagar, wisatawan akan diminta untuk menjalani tes coronavirus. Saat menunggu hasil, seorang turis harus tinggal di hotel yang dipesan sendiri. Mereka yang dinyatakan positif Covid-19 akan dirawat di fasilitas kesehatan setempat.

Hingga Kamis (16/7), India melaporkan lebih dari 32 ribu kasus virus corona baru dan 606 kematian lainnya dalam sehari. Angka itu meningkatkan jumlah kasus menjadi 968.876 dan 24.915 kematian. Jumlah aktual, seperti di tempat lain di dunia, kemungkinan jauh lebih tinggi karena pengujian terbatas dan pengawasan yang buruk.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler