Tingkat Kesuburan Warga Dunia Menurun

Penurunan tingkat kesuburan bisa berdampak pada penyusutan populasi warga dunia.

Republika/Putra M. Akbar
Bayi baru lahir (ilustrasi). Penurunan angka kesuburan warga dunia ternyata tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah penelitian mengungkap adanya penurunan tingkat kesuburan secara global dari masa ke masa. Dengan terus menurunnya angka tersebut, jumlah manusia di planet ini akan semakin menyusut dalam puluhan tahun mendatang.

Studi yang terbit di Lancet itu digagas para peneliti dari Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan Universitas Washington, Amerika Serikat. Mereka menganalisis data tingkat kesuburan secara global sejak beberapa dekade silam.

Pada 1950, rata-rata perempuan memiliki 4,7 anak dalam hidup mereka. Angka itu turun hampir setengahnya pada 2017, dengan angka tingkat kesuburan berjumlah 2,4. Proyeksi para peneliti, pada 2100 mendatang, angka turun di bawah 1,7.

Mereka juga memprediksi jumlah penduduk Bumi mencapai puncaknya sebanyak 9,7 miliar pada 2064, sebelum turun ke angka 8,8 miliar di akhir abad ini. Menurut studi, populasi di 23 negara akan berkurang setengahnya pada 2100.

Usia penduduk Bumi pun menjadi tidak seimbang, dengan banyaknya orang mencapai usia 80 tahun ketika bayi-bayi lahir. Peneliti studi, Profesor Christopher Murray, menyebut kondisi tersebut tidak bisa disepelekan.

"Sebagian besar dunia sedang mengalami transisi ke penurunan populasi alami. Saya pikir sangat sulit melewati hal ini dan mengakui seberapa besar dampaknya, kita harus membuat tatanan ulang masyarakat," kata Murray.

Penurunan angka kesuburan tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Faktor utamanya justru akibat pilihan kaum hawa memiliki lebih sedikit anak, serta lebih banyak akses ke pendidikan, pekerjaan, dan alat kontrasepsi.

Dua negara yang diprediksi paling terpengaruh adalah Jepang dan Italia. Begitu pula Spanyol, Portugal, Thailand, dan Korea Selatan yang populasinya turun lebih dari setengah dari jumlah saat ini.

Jumlah penduduk Jepang sebanyak 128 juta jiwa pada 2017 diperhitungkan turun menjadi kurang dari 53 juta pada akhir abad ini. Sementara, Italia diperkirakan mengalami penurunan populasi dari 61 juta ke 28 juta dalam jangka waktu yang sama.

China, yang saat ini merupakan negara terpadat di dunia, diperkirakan mencapai puncak 1,4 miliar dalam waktu empat tahun dari sekarang. Setelah itu, pada 2100 jumlah penduduknya berkurang menjadi 732 juta, dan posisinya digantikan oleh India.

Inggris diperkirakan akan mencapai angka 75 juta penduduk pada 2063, kemudian turun menjadi 71 juta pada 2100. Hal yang menjadi masalah global lain, 183 dari 195 negara memiliki tingkat kesuburan di bawah tingkat regenerasi.

Secara umum, studi memproyeksikan jumlah balita turun dari 681 juta pada 2017 menjadi 401 juta pada tahun 2100. Jumlah lansia berusia di atas 80 tahun akan naik dari 141 juta orang pada 2017 menjadi 866 juta pada 2100.

Sebagian orang mungkin berpikir kondisi demikian bagus untuk lingkungan lantaran populasi yang lebih kecil akan mengurangi emisi karbon serta deforestasi untuk lahan pertanian. Akan tetapi, peneliti punya argumen lain.

"Hal itu benar, kecuali untuk struktur usia terbalik (di mana lebih banyak orang tua daripada generasi muda) dengan semua konsekuensi negatif seragam dari struktur usia terbalik," kata Murray, dikutip dari laman BBC, Jumat (17/7).

Murray khawatir, jumlah yang tak seimbang berpotensi menciptakan perubahan sosial. Kesenjangan akan membuat lebih sedikit orang mampu membayar pajak, membayar perawatan kesehatan untuk orang tua, merawat lansia, serta ketersediaan dana pensiun.

Sebagai solusi, sejumlah negara memanfaatkan migrasi untuk meningkatkan populasi dan mengimbangi penurunan tingkat kesuburan. Pakar menyarankan pemikiran ulang mendasar tentang politik global serta distribusi populasi usia kerja.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler