Alasan DPR tak Bisa Langsung Cabut RUU HIP
Penggantian RUU HIP menjadi RUU BPIP dibahas DPR pada masa sidang depan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan alasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) belum bisa langsung dicabut, meskipun sudah ada RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ia mengatakan hal ini karena DPR saat ini memasuki masa reses.
"Karena pada saat ini sudah memasuki masa reses tentunya mekanisme pergantian pembahasan RUU HIP dan BPIP tidak bisa dilaksanakan," kata Dasco di Senayan, Jakarta, Jumat (17/7).
Dasco mengatakan, penggantian RUU HIP menjadi RUU BPIP akan dibahas pada masa sidang depan. Menurut dia, ada beberapa mekanisme yang harus dijalani sesuai tata tertib di DPR dan sesuai aturan perundang-undangan dalam membuat undang-undang untuk dilakukan dari HIP kemudian diganti menjadi BPIP.
"Nah setelah itu kemudian mekanismenya jalan dan sudah berubah menjadi RUU BPIP," kata Politikus Gerindra itu.
Dasco mengatakan, secara sepintas ada perbedaan mendasar antara RUU HIP dan BPIP. Menurut dia, RUU HIP mengatur soal ideologi Pancasila. "Sementara BPIP mengatur soal lembaga BPIP yang ada untuk memperkuat bagaimana mensosialisasikan Pancasila yang sudah final," kaya Dasco menambahkan.
DPR RI telah menerima perwakilan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator, Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang menyerahkan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Dikatakannya, konsep RUU tersebut berbeda dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU BPIP).
"Ada dua lampiran lain (diserahkan) yang terkait dengan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila," ujar Mahfud di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/7).
Ia mengatakan, RUU BPIP merupakan respons terkait polemik yang mengiringi RUU HIP. Selain itu, RUU BPIP akan memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme.
"Itu ada di dalam RUU ini menjadi menimbang butir duasesudah Undang-Undang Dasar 1945, menimbangnya butir dua itu TAP MPRS Nomor 25 Tahun '66," ujar Mahfud.