Konversi Hagia Sophia dan Teriakan Nyaring Rakyat Kurdi
Dewan Rakyat Kurdi menilai konversi Hagia Sophia tak untungkan mereka.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dewan Eksekutif Kongres Nasional Kurdistan (KNK) mengkritik pedas keputusan konversi Hagia Sophia. KNK menganggap penggunaan bangunan bersejarah itu selain sebagai museum merupakan bentuk pelanggaran hukum.
KNK mengklaim Hagia Sophia bukan satu-satunya situs bersejarah yang jadi korban tindakan diskriminasi Erdogan.
KNK menyebut sejak 2015, ada 800 bangunan di distrik kuno Sur, kota Diyarbakir yang dihancurkan. Kerusakan tak bisa lagi diperbaiki karena puing bangunan dibuldozer dan dibuang di sungai Tigris.
Kemudian, KNK menuduh banjir di kota kuno Hasankeyf didalangi Erdogan. Pada 1981, Turki memutuskan wilayah padat area Kurdi itu sebagai area konservasi.
Lalu kota tersebut mengalami banjir setelah bendungan Ilısu selesai dibangun. Ketinggian air disana mencapai 479.30 meter atau beberapa meter lagi jelang titik tenggelam pada 19 Februari 2020.
Akibat banjir di sana, 80 ribu orang terpaksa pindah. Hasankeyf diklaim sebagai tempat bersejarah di masa Mesopotamia, Byzantium hingga Kerajaan Arab.
"Daftar monumen yang dihilangkan dan dihancurkan begitu banyak, termasuk mural politisi Kurdi, batu sejarah kerajaan Marwanid Kurdi, plakat anak-anak Kurdi yang ditembak selama konflik," tulis pernyataan resmi KNK dilansir dari ANZ pada Sabtu (18/7).
KNK juga menceritakan patung penulis Kurdi Ahmedi Khani pernah dihancurkan di kota Dogubeyazıt. Pemda setempat berdalih penghancuran patung demi kepentingan perawatan jalan raya. "Kenyataannya tindakan itu terencana untuk menghapus sejarah Kurdi dari wilayah Dogubeyazıt."
KNK menilai penghancuran dan pelenyapan situs bersejarah adalah bukti Erdogan menganut ideologi ekstremis Islam.
KNK mengingatkan Erdogan pernah dipenjara 10 bulan pada 1997 akibat ujaran kebencian. KNK memantau Erdogan berusaha melembutkan pemilih agamisnya sejak mulai berkuasa. Erdogan mencoba menghormati keputusan Sultan Mehmed II Ottoman saat merebut Konstantinopel pada 1453.
"Islamnya Erdogan adalah Islam penaklukan. Di Turki, dia mencoba membuat negara Islam dan dia mengirim pasukan ke negara tetangga untuk penaklukan," tuding KNK.
Oleh karena itu, KNK meyakini upaya konversi Hagia Sophia sebenarnya demi menyenangkan pendukung Erdogan. Langkah itu juga menguatkan citra politiknya. KNK menilai Erdogan adalah bentuk nasionalis yang dicemari keagamaan hingga bergesekan dengan penganut sekuler.
KNK tetap percaya Hagia Sophia sebaiknya tetap menjadi museum. Sehingga simbolisasi ide, nilai artistik dan nilai budayanya melampauai keagamaan untuk menyatukan manusia.
"Konversinya menjadi Masjid menjadi simbol yang cocok bagi kebangkitan nasionalis sayap kanan dan chauvinisme agama,".
"Batu, pilar dan mozaik Hagia Sophia melekat dalam kompleksitas sejarah Eropa dan Turki, tradisi Islam dan Kristen. Kehadirannya saja memancing hsaha Erdogan untuk menghapus sejarah kompleksitas itu,".
Diketahui, suku Kurdi merupakan salah satu penduduk asli daratan Mesopotamia dan di dataran tinggi di Turki bagian tenggara, Suriah barat laut, Irak utara, Iran barat laut dan barat daya Armenia. Mereka membentuk komunitas tersendiri, disatukan lewat ras, budaya dan bahasa sekalipun mereka tak punya dialek standar. Agama dan kepercayaan mereka berbeda sekalipun mayoritas diklaim Muslim Sunni.
Walau mempunyai sejarah panjang, bangsa Kurdi tidak pernah memiliki negara sendiri. Awal Abad ke-20, orang Kurdi mulai mempertimbangkan membentuk negara - disebut sebagai "Kurdistan".
Sesudah Perang Dunia Pertama dan kalahnya kekhalifahan Turki Usmani, melalui Perjanjian Sevres, negara itu dipertimbangkan untuk dibentuk.
Tetapi tiga tahun selanjutnya lewat Perjanjian Lausanne yang memutuskan perbatasan Turki modern, rencana itu dibatalkan. Lalu menyebabkan orang Kurdi menjadi kelompok minoritas di negara-negara yang baru dibentuk.
Selama 80 tahun terakhir, upaya untuk mendirikan negara Kurdi merdeka selalu digagalkan secara sadis. Kurdi menuduh pihak berwenang Turki terlibat dalam serangan bom bunuh diri yang menewaskan aktivis Kurdi di Suruc, Turki, pada 2015. Pemimpin Partai Buruh Kurdi (PKK) Abdullah Ocalan dipenjara Turki sejak 1999.
Ada permusuhan diam-diam antara negara Turki dengan etnik Kurdi yang padahal 15-20 persen dari populasi Turki. Nama dan pakaian etnik Kurdi dilarang, penggunaan bahasa Kurdi dibatasi. Bahkan keberadaan etnik Kurdi ditolak, dan mereka dipanggil dengan sebutan "orang Turki Pegunungan".
Lebih dari 40 ribu orang tewas sejak PKK menerapkan perlawanan bersenjata pada 1984. Sementara pada 1990, PKK mengubah tuntutan kemerdekaan menjadi otonomi budaya dan politik, dan melanjutkan perjuangan bersenjata.
Pada 2013 kedua pihak memutuskan gencatan senjata. Namun gencatan senjata ini gagal pada 2015 sesudah sebuah bom bunuh diri menewaskan 33 orang aktivis Kurdi di Suruc, dekat perbatasan Suriah.