Bolehkah Dam Haji Tamattu' Dibayar di Luar Tanah Haram?

Sebagian menilai penyembelihan dam di Tanah Suci kurang bermanfaat bagi orang miskin

Republika/ Nashih Nashrullah
Pasar Hewan Kakiyah salah satu tempat favorit penyembelihan dam
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Haji merupakan kewajiban bagi tiap Muslim yang mampu. Orang yang menolak kewajiban haji disebut kafir berdasarkan ijma' para ulama. Tidak heran, pada setiap musim haji, jutaan Muslim berkumpul untuk menunaikan ibadah fisik tersebut.


"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali-Imran:97).

Ada tiga jenis haji berdasarkan waktu pelaksanaannya. Haji Tamattu, yakni jamaah haji yang mengerjakan umrah dan haji dengan cara dipisah. Jamaah Tamattu biasanya datang ke Tanah Suci pada masa awal haji. Mereka pun melakukan umrah terlebih dahulu kemudian baru berhaji.

Haji qiran melaksanakan haji dan umrah dalam satu niat. Berbeda dengan haji tamattu, Haji qiran tidak melepas pakaian ihramnya seusai umrah karena langsung akan melaksanakan haji. Sementara itu, haji ifrad, yakni jamaah yang melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji terlebih dahulu baru kemudian melakukan umrah.

Jamaah haji Indonesia terbiasa melakukan haji Tamattu karena datang ke Tanah Suci sebelum pelaksanaan haji. Pelaksana haji tamattu' dan qiran diwajibkan membayar dam berupa menyembelih seekor kambing atau berpuasa sepuluh hari. Dasar haji Tamattu ada dalam QS al-Baqarah:196.

"Apabila kamu telah (merasa) aman, bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi, jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu, (kewajiban membayar fidiah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang bukan penduduk kotaMekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya."

Dalam pelaksanaan dam, ada sebagian jamaah yang menilai praktik penyembelihan dam di Tanah Suci kurang memberi manfaat bagi fakir miskin. Banyaknya penyimpangan dalam pembelian hewan hadyu (untuk membayar dam) sehingga tidak memenuhi ketentuan syar'i juga kerap dipertanyakan. Karena itu, ada usulan penyembelihan dam untuk jamaah haji tamattu agar dilakukan di Tanah Air supaya memiliki nilai kebermanfaatan yang lebih tinggi.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya bernomor 41 tahun 2011 telah memutuskan perkara tersebut. Khususnya hukum atas penyembelihan hewan dam untuk haji Tamattu di luar tanah haram.

MUI mengutip beberapa ayat yang menunjukkan, tempat menyembelih hadyu adalah di tanah haram. Di antaranya, yakni QS al-Hajj:33. "Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, itu ada beberapa manfaat. Sampai kepada waktu yang ditentukan. Kemudian, tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)." (QS al-Hajj:33).

Beberapa hadis juga menegaskan perintah dalam nash Alquran. Riwayat dari Al-Baihaki dari sahabat Jabir ra menegaskan, semua Makkah adalah tempat menyembelih. "Dari Atha ibn Abi Rabah diceritakan kepadanya bahwasanya ia mendengar Jabir ibn Abdillah ra berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Setiap penjuru kota Makkah adalah jalan dan tempat menyembelih." (HR al-Baihaki dan al Hakim).

Dalam hadis lainnya yang diriwayatkan Al Baihaki dari Jabir ra disebutkan, tempat Nabi SAW saat menyembelih adalah di Mina. Pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al Majmuu Syarah Al Muzahab tentang dam untuk haji tamattu dan qiran juga mendukung itu. Menurut Imam Nawawi, orang yang berihram terkena kewajiban membayar dam, seperti tamattu dan qiran maka wajib membagikannya kepada orang miskin tanah haram. Ini merujuk pada firman-Nya 'kurban sampai ke Ka'bah.

Jika dam tersebut disembelih di tanah halal dan dibawa ke tanah haram, hukumnya tergantung kondisi daging itu. Jika dagingnya berubah busuk akibat perjalanan, tidak sah karena hak kaum miskin adalah daging sempurna. Jika daging tidak busuk, ada dua pendapat berbeda. Pertama tidak sah karena penyembelihan adalah salah satu dari dua tujuan hadyu. Karena itu, penyembelihan hadyu dikhususkan di tanah haram sebagaimana distribusinya.

Pendapat kedua, daging itu tetap sah dijadikan dam karena tujuannya adalah pembagian daging. Cara itu pun sudah bisa menyampaikan daging kepada kaum miskin di tanah haram. Jika ia terkena kewajiban makan, ia pun harus menyampaikannya ke orang-orang miskin tanah haram. Ini diqiyaskan dengan hadyu karena penerima manfaatnya, yakni orang miskin di tanah haram tersebut.

Berbeda jika terkena kewajiban berpuasa. Maka, orang yang berpuasa tersebut boleh puasa di setiap tempat. Penyebabnya, puasanya itu tidak memberi manfaat langsung bagi ahli tanah haram.

Hanya, Imam Nawawi memberi catatan adanya kondisi darurat saat orang tersebut diperbolehkan membayar hadyu bukan di tanah haram. Sebagaimana riwayat Ibnu Umar ra bahwa Nabi SAW pernah melakukan umrah. Kemudian, ada orang Quraish menghalangi nabi. Rasulullah pun menyembelih al-hadyu dan memotong rambut di Hudaibiyah. Di mana, jarak antara Hudaibiyah dan tanah haram adalah tiga mil.

Atas pertimbangan tersebut, MUI pun memfatwakan bahwa penyembelihan hewan dam atas haji tamattu atau qiran harus dilakukan di tanah haram. Jika dilakukan di luar tanah haram, hukumnya menjadi tidak sah.

Daging yang telah disembelih pun didistribusikan untuk kepentingan fakir miskin di tanah haram. Jika ada pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar, daging tersebut bisa didistribusikan kepada kaum dhuafa di luar tanah haram. Hewan dam untuk haji tamattu dan qiran pun tidak boleh diganti dengan sesuatu di luar kambing yang senilai.  Wallahualam. 

 

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler