Snouck Hurgronje Non-Muslim, Bagaimana Lolos Masuk Makkah?
Snouck Hurgronje non-Muslim memasuki Makkah dan Madinah dengan leluasa.
REPUBLIKA.CO.ID, Bagaimana Christiaan Snouck Hurgronje bisa memasuki Makkah, kota yang tertutup bagi non-Muslim itu?
Pertama-tama, kita mesti ingat. Sarjana tersebut menggunakan nama samaran yang terdengar begitu islami: Abdul Ghaffar. Selain itu, ia fasih berbahasa Arab.
Bahkan, beberapa sumber menyebut Christiaan hafal Alquran dan piawai mengutip kitab-kitab hadis yang otoritatif. Di samping itu, ia pun selalu mengenakan busana jubah Arab setidaknya sejak lima bulan di Jeddah. Tak mengherankan bila ia memancarkan kesan sebagai seorang Muslim.
Namun, ia tentu tak hanya mengandalkan dirinya sendiri. E Gobee dalam pengantar Nasihat-nasihat C Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 menjabarkan tentang bagaimana sang orientalis bisa menembus Makkah.
Dalam memoarnya, Christiaan mengakui, dia sejak di Negeri Belanda telah berhasrat untuk dapat pergi ke Makkah. Ia ingin menyaksikan dan merasakan langsung denyut aktivitas Mohammedan dari berbagai penjuru bumi di jantung dunia Islam itu. Misi yang diberikan pihak konsulat Belanda itu pun disambutnya dengan baik.
Untuk bisa melewati gerbang Kota Suci, seseorang pastinya harus merupakan Muslim. Demi keamanan dan kelancaran misinya, Christiaan pun berpurapura memeluk Islam. Ini kelak diakuinya dalam sebuah surat teruntuk orientalis Jerman, Carl Bezold, 18 Februari 1886.
Sekitar sebulan sebelum keberangkatannya ke Makkah, Christiaan menerima sejumlah tamu penting di konsulat Jeddah. Mereka adalah gubernur Hijaz yang berkedudukan di Makkah dan wakil khalifah Utsmaniyyah di Istanbul.
Turut hadir pula, seorang qadi Jeddah. Dua hari kemudian, sang gubernur mengundang Abdul Ghaffar alias Christiaan untuk kemungkinan perjalanan ke Kota Suci. Sebab, sarjana ini dianggapnya sebagai seorang tamu.
Segalanya tampak berjalan sesuai rencana. Ya, pihak konsulat memang telah merencanakan perjumpaan Christiaan dengan para pembesar itu sebelum sang orientalis sampai di Jeddah. Pihak konsulat telah menjalin relasi dengan kelompok penunjuk jalan calon hajiyang disebut syekh di Makkah. Dengan mengandalkan para syekh itu, diundanglah sejumlah alim ulama dari kota kelahiran Rasulullah SAW.
Alasannya, ada seorang sarjana muda Belanda yang baru saja tiba di Jeddah. Pemuda cerdas ini ingin berdiskusi dengan ulama-ulama Makkah untuk menyelesaikan studinya tentang agama. Maka, terjadilah pertemuan yang telah dirancang itu. Abdul Ghaffar alias Christiaan berbicara panjang lebar. Secara implisit, ia menunjukkan keluasan pengetahuannya mengenai Islam.
Maka, para tamu dari Makkah menerangkan bahwa sikap Snouck Hurgronje (Abdul GhaffarRed) terhadap agama Islam sudah jelas bagi mereka. Kata mereka, 'Kami merasa bahwa Anda seorang di antara kami.' Dengan jalan ini, terbukalah baginya jalan ke Makkah, tulis Gobee.
Christiaan tak sekadar melaksanakan perintah. Ia pun ikut menggodok konsep misi rahasia ini. Pertemanannya dengan Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, seorang pelajar di Makkah, pun bagian dari skenarionya. Anak keturunan bang sawan Sunda itu difungsikannya sebagai informan.
Dengan tugas ini, Christiaan tampaknya hendak mengikuti jejak orientalis Ignac Goldziher (1850-1921). Sarjana itu merupakan pemeluk Yahudi yang taat hingga akhir hayatnya. Pada 1870-an, ia diterima sebagai murid para syekh di Masjid al- Azhar, Kairo. Hal itu sukar terjadi bila orang-orang setempat tak memercayainya sebagai Muslim tulen.
Namun, tak seperti Goldziher, Christiaan lebih suka menyebut dirinya pengamat, alih-alih partisipan, saat berada di tengah komunitas Muslimin. Maknanya, ia lebih suka berjarak, sekalipun sudah mengaku sebagai orang Islam. Kesan yang tim bul, dia sebagai subjek peneliti, sedangkan masyarakat yang diteliti hanyalah objek belaka.
Lebih lanjut, seperti diterangkan Kevin W Fogg dalam Seeking Arabs but Looking at Indonesians: Snouck Hurgronje's Arab Lens on the Dutch East Indies (2014), orientalis tersebut mengalami bias Arab.
Selama di Tanah Suci, Christiaan cenderung timpang dalam meng gambarkan orang-orang Jawi nusantarayang bermukim atau jamaah haji di sana. Baginya, mereka lebih inferior daripada Arab, baik dalam hal keagamaan maupun profan.
Dalam sebuah catatannya, Christiaan menuturkan, suatu kali ia dan kawannya berjalan di Masjid al-Haram. Ia mendapatkan kesan, sedikit sekali orang Jawi yang menjadi pengajar di sana. Seorang warga Makkah menyebut nama Syekh Zainuddin dari Sumbawa.
Secara implisit, orientalis ini menghakimi, hanya satu orang syekh dari nusantara yang mengajar di Kota Suci, padahal begitu banyak umat Islam dan jamaah haji asal kepulauan tropis itu.