Obati Sendiri Covid-19 Bahayakan Semua Orang

Tanpa diagnosis, pengobatan dapat berbahaya

EPA-EFE/STR
Orang-orang terlihat di dalam fasilitas perawatan untuk COVID-19 di sebuah stadion di dalam kompleks olahraga Commonwealth Games (CWG) Village di New Delhi, India, 24 Juli 2020.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, KOLKATA -- Perasaan takut dikucilkan dari lingkungan masyarakat, seringkali membuat seseorang enggan tes Covid-19 meski memiliki gejala. Karena terlalu takut, mereka memilih untuk mengobati diri sendiri dengan mengandalkan saran teman dan meniru resep dari orang yang sembuh.

Seorang guru di sebuah lembaga swasta di Barasat dekat Kolkata, India, mengakui bahwa ia menahan diri untuk tidak menjalani tes meskipun telah kehilangan fungsi indera penciuman dan rasa yang diketahui sebagai salah satu gejala Covid-19. Sebagai gantinya ia mengumpulkan resep dari seorang teman yang sembuh dari Covid-19, lalu mengonsumsinya.

"Dua tetangga saya dikucilkan oleh penduduk setempat setelah mereka dinyatakan positif mengidap penyakit itu. Saya tidak ingin mengalami hal yang sama. Seorang teman saya, yang selamat dari Covid-19, membagikan resepnya kepada saya. Saya mendapat obat-obatan dari apotek setempat, dan saya berharap akan baik-baik saja dalam beberapa hari," kata pria berusia 50 tahunan.

Merespon fenomena itu, Virolog Amitabh Nandy menekankan bahwa hingga kini belum ada obat untuk penyembuhan Covid-19. Mereka yang telah sembuh dari sakit akibat Covid-19, dirawat berdasar kasus per kasus. Jadi tidak mungkin ada protokol pengobatan tunggal yang berlaku untuk semua pasien.

Psikosis Covid atau rasa takut terhadap penyakit mungkin menyebar lebih cepat daripada penyakit itu sendiri. Pola pikir dan sikap mereka menyikapi virus juga dipengaruhi oleh anggota masyarakat dan kerabat.

"Tanpa diagnosis, pengobatan dapat berbahaya. Diperlukan pemeriksaan fisik oleh dokter sebelum menulis resep. Sayangnya, pandemi belum ditangani dengan baik. Belum ada mekanisme untuk mengatasi ketakutan masyarakat. Itu menambah kesengsaraan. Bahkan apotek menjual obat-obatan tanpa verifikasi yang tepat," kata Nandy seperti dilansir Times Now News, Senin (3/8).

Profesor bedah di Rumah Sakit SSKM di India, Dr Diptendra Sarkar, mengatakan pengobatan sendiri adalah alasan mengapa tingkat kematian di Bengal meningkat. Pasien, yang seharusnya bisa sembuh tanpa banyak basa-basi, bergegas ke dokter hanya ketika situasinya sudah parah. Mereka mengunjungi dokter dengan gangguan pernapasan, setelah upaya pengobatan sendiri gagal.

"Ada pasien yang bertanya kepada saya apakah mereka harus menyetok obat hydroxychloroquine dan steroid di rumah. Karena menurut pasien, banyak orang membawa pil hydroxychloroquine di saku, padahal obat-obatan ini dapat memiliki efek samping," tegas dia

Arup Sen, manajer senior di rantai ritel medis terkemuka di Lindsay Street, mengakui bahwa karyawan di tokonya mendapatkan pertanyaan dari konsumen tentang adakah obat peningkat imunitas, dan obat-obatan lain untuk mengobati gejala Covid-19. Dia mengatakan dia telah meminta para karyawan untuk tidak menegur konsumen yang tidak membeli obat tanpa resep dokter.

"Yang perlu diingat adalah jika mereka tidak mengikuti pedoman dan menyembunyikan gejala-gejala atau memanjakan diri dalam pengobatan sendiri, itu bisa membahayakan kesehatan mereka sendiri serta sekitar," tambah dia.



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler