Kesamaan Cara Pandang Islam dan Barat Terhadap Rasulullah
Islam dan sebagian Barat mempunyai cara pandang terhadap Rasulullah SAW.
REPUBLIKA.CO.ID, Bagaimana memahami Nabi Muhammad? Sayed Hosein Nasr, dalam Ideals and Realities of Islam, menulis bahwa untuk memahami Nabi Muhammad tidak cukup mempelajari biografinya dari luar. Namun, wajib pula meneropongnya dari perspektif khas Islam sekaligus menemukan posisi istimewanya dalam kesadaran religius Muslim.
Nasr mengakui peran Nabi Muhammad sulit dimengerti oleh non-Muslim sebagai prototype kehidupan religius dan spiritual, khususnya yang berlatar Kristen. Nasr melihat kesulitan tersebut disebabkan peranan spiritual Nabi tersembunyi di balik peranan manusiawi dan tugas sosial-politiknya sebagai pembimbing manusia dan pemimpin masyarakat.
Nabi Muhammad adalah pembimbing spiritual sekaligus organisator sebuah tatanan masyarakat baru. Karena itu, tidak aneh jika orang-orang non-Muslim kerap hanya mampu melihat Nabi sebagai politikus, orator, atau negarawan daripada pembimbing spiritual.
Bagi Nasr, Nabi Muhammad memiliki peran ganda, yakni nabi dan raja. Karena itu, Nabi Muhammad tidak bisa dibandingkan dengan Kristus atau Budha, tetapi lebih tepat dibandingkan dengan raja-nabi dalam Perjanjian Lama, seperti Daud dan Sulaiman, terutama Ibrahim. Di luar tradisi abrahamic religions (Yahudi, Kristen, dan Islam), Nabi Muhammad harus dibandingkan dengan Rama dan Krishna (Hinduisme) sebagaimana dikisahkan dalam Ramayana dan Mahabharata.
Bagaimana kaum Muslim memandang Nabi Muhammad? Nurcholish Madjid berpendapat umat Islam adalah penganut agama yang tidak memandang pemimpinnya dengan pandangan mitologis (QS Al-Nisa: 144). Hal ini sesuai dengan misi tauhid Nabi. Tauhid membebaskan manusia dari mitologi, takhayul, dan berbagai kepercayaan palsu lainnya. Nabi Muhammad adalah manusia seperti kita, hanya beliau menerima wahyu dari Allah (QS al-Kahf:110).
Di samping itu, dalam tradisi Islam Nabi Muhammad dipandang sebagai figur meta-historis. Minimal ada tiga metode pengukuhan kemetahistorisannya. Pertama, seseorang baru berlabel Muslim bila ia, tak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan, tetapi juga Muhammad sebagai Rasulullah (utusan Allah). Artinya, kesadaran kemuhammadan merupakan kesadaran Islam itu sendiri.
Tidak aneh bila oknum-oknum yang mencoba menistakan Islam berupaya meluluh-lantakkan, meruntuhkan citra luhur Nabi Muhammad. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad adalah penghinaan terhadap Islam karena menyangkut kesadaran diri (self consciousness) kaum Muslim.
Kedua, Nabi Muhammad adalah model ideal hamba Allah, manusia paripurna, manusia-teomorfis, teladan (uswah), di mana tiap Muslim mengiblatkan keteladanan moral (akhlak) padanya. Ketiga, kesadaran kemuhammadan dipertajam dengan konsep shalawat. Tiap nama Muhammad disebut maka dianjurkan membaca shalawat "Allahumma shalli 'ala muhammad wa 'alli Muhammad". Bahkan, Imam Syafi'i berkata: "Tidak sempurna sholat tanpa shalawat bagimu." Nama Muhammad pun adalah bagian integral dari sholat, mulai dari adzan, iqamat, dan bacaan wajib sholat.
Lalu, bagaimana Barat memandang Nabi Muhammad? Nurcholish Madjid menjelaskan, sejumlah intelektual Barat, mengutip Maxim Rodinson, sekalipun mungkin tidak suka kepada Nabi Muhammad, tidak jarang masih menunjukkan kekaguman kepada Nabi kaum Muslim ini. Comte de Boulainvilliers menyanjung Nabi sebagai pemikir bebas (freethinker, vrijdender), pencipta agama rasional.
Voltaire menggunakan nama Nabi Muhammad sebagai senjata melawan agama Kristen dengan mengatakan kalaupun Nabi itu adalah pendusta, ia berhasil memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung dengan bantuan cerita-cerita khayalan.
Radinson pada abad ke-18 memandang Nabi Muhammad sebagai pengajar agama alami, wajar, dan masuk akal (rasional), yang jauh terbebaskan dari kegilaan salib. Thomas Carlyle menempatkan pribadi Nabi Muhammad dalam deretan pahlawan kemanusiaan yang menyinarkan cahaya Ilahi.
Hubert Grimme, akhir abad ke-19, memandang Nabi Muhammad sebagai sosialis yang sukses melakukan reformasi fiskal dan sosial dengan mitologi yang sangat minim. Goethe, sastrawan besar Jerman, mempersembahkan syair yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang jenius yang bagaikan sungai besar. Sungai itu dan cabang-cabangnya meminta bimbingannya untuk mencapai lautan yang sedang menunggu. Agung, penuh kemenangan, dan tak terkalahkan, Nabi memimpin mereka maju terus.