Keresahan Menag Ketika Madrasah dan Pesantren Kembali Dibuka

Menag minta masyarakat berpartisipasi bersama menjaga siswa madrasah dan pesantren.

Republika/Prayogi
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan pembukaan kembali madrasah dan pesantren memang mengandung risiko. Ia mengajak seluruh pihak bersama-sama menciptakan situasi yang aman dan sehat bagi siswa siswi kembali belajar.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fuji E Permana, Idealisa Masyrafina, Inas Widyanuratikah, Antara

Sebanyak 163 kabupaten/kota yang masuk dalam kategori zona kuning Covid-19 akan diperbolehkan melaksanakan kegiatan belajar mengajar tatap muka secara langsung di sekolah. Pemerintah melalui surat keputusan bersama (SKB) empat menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri menyepakati untuk memperbolehkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tatap muka secara langsung di sekolah dan pesantren.

Kementerian Agama (Kemenag) menyampaikan akan ada sekolah di bawah koordinasi Kemenag yang melaksanakan belajar tatap muka dan belajar secara daring. Kemenag juga meminta kepada setiap orang tua murid dan masyarakat ikut berpartisipasi menjaga siswa-siswi agar mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah virus corona atau Covid-19.

Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi, mengatakan setiap sekolah pasti ada yang melaksanakan pembelajaran tatap muka. Kebijakan itu dilaksanakan kalau kelasnya mencukupi, murid dan orang tua muridnya setuju untuk melakukan pembelajaran tatap muka.

"Tapi ada juga yang melakukan (pembelajaran) daring atau online, karena mungkin zonanya tidak memungkinkan untuk dilakukan (pembelajaran) tatap muka," kata Menag saat pengumuman penyesuaian kebijakan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 yang disiarkan di kanal YouTube Kemendikbud RI, Jumat (7/8).

Menag menjelaskan, mungkin akan ada sekolah melakukan pembelajaran tatap muka sekaligus daring. Hal ini bisa terjadi karena kelasnya tidak muat dan hanya muat setengah kapasitas saja. Atau karena sebagian orang tua murid tidak mengizinkan anaknya untuk mengikuti pembelajaran tatap muka.

Kemenag memang memberikan pilihan, semua diserankan ke pertimbangan masing-masing. Menag juga menyampaikan tantangan yang dihadapi bila sekolah melaksanakan pembelajaran tatap muka.

"Murid nanti akan pulang-pergi ke sekolah, mungkin dia (murid) berangkat dari rumah sehat dan sampai sekolah sehat, pulang sekolah dia belanja atau main sama teman-temannya, main bola dulu di lapangan, pulangnya kena virus, mungkin besoknya dia kembali ke sekolah dengan membawa virus, mungkin itu salah satu yang kita khawatirkan," ujarnya.

Kemenag menekankan agar orang tua murid memerintahkan anak-anaknya dari rumah langsung ke sekolah dan dari sekolah langsung pulang ke rumah. Anak diminta tidak mampir ke mana-mana saat berangkat sekolah atau pulang sekolah.

Menurut Menag, masyarakat juga harus berpartisipasi menjaga murid-murid. Misalnya kepada satpam-satpam di pasar atau area yang dilewati murid, kalau ada murid yang sedang main bersama teman-temannya diimbau untuk menyuruh anak pulang ke rumah. Ia mengakui melakukan pembelajaran tatap muka ada risikonya, tapi harus dihadapi karena tidak ada pilihan lain.

"Kita memberikan pilihan, masing-masing ada risikonya, jadi betul-betul kita harus menekankan kepada semua aspek untuk sama-sama mensukseskan ini (penyesuaian kebijakan pembelajaran di masa pandemi Covid-19)," ujarnya.

Menag mengaku situasi saat ini lebih mengkhawatirkan bagi para santri dan siswa madrasah untuk kembali bersekolah. Ia menjelaskan, pada waktu awal pandemi, banyak pesantren yang tidak tutup dan memulangkan para santri karena wilayah mereka dianggap aman. Selain itu mereka juga hanya berada di lokasi tersebut.

"Karena yang penting lokasi aman Covid, ustaz dan guru aman Covid, santri aman Covid, dan lakukan penerapan protokol kesehatan. Ini jadi lebih mudah, karena begitu santri dan guru masuk, tidak ke mana-kemana lagi. Masuk sehat, protokol kesehatan, dan tidak keluar-keluar lagi," jelas Fachrul Razi.

Saat ini, kata Fachrul Razi, hanya sekitar tiga pesantren yang masuk klaster penularan Covid-19. Menurutnya ini bukti bahwa sebagian besar pesantren aman dari Covid-19 pada awal pandemi.

Hal ini menjadi jauh berbeda di saat tahun ajaran baru dimulai saat ini. Para santri dan siswa sudah dipulangkan dari pesantren dan madrasah. Meskipun awalnya sehat, dalam perjalanan mereka dapat terinfeksi virus.

Para siswa yang tidak di asrama juga semakin rentan karena mereka bisa saja mampir ke berbagai tempat sebelum menuju ke rumah. "Makanya kita mohon kerjasamanya dengan orang dewasa, para petugas keamanan, kalau melihat anak-anak sekolah berkerumun segera disuruh pulang," kata Menag.

Baca Juga




Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarin, mengatakan pembukaan kembali madrasah dan sekolah berasrama di zona kuning dan hijau dilakukan secara bertahap. Bagi asrama yang jumlah peserta didiknya di bawah 100 orang, pada bulan pertama maksimal kapasitas 50 persen. Pada bulan kedua diperbolehkan masuk 100 persen.

Sementara itu, bagi asrama yang peserta didiknya di atas 100, pada bulan pertama diperbolehkan untuk diisi sebanyak 25 persen dari kapasitas. Pada bulan kedua diperbolehkan sebanyak 50 persen. Sementara itu pada bulan ketiga diperbolehkan diisi sebanyak 75 persen. Pada bulan keempat diperbolehkan sebanyak 100 persen dari kapasitas.

Secara umum, standar protokol sama dengan SKB 4 menteri sebelumnya, yaitu wajib menggunakan masker, mencuci tangan dan jaga jarak. Selain itu, kegiatan yang menimbulkan perkumpulan antarkelas ditiadakan, seperti kegiatan di kantin.

"Ini jadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk implementasinya dan evaluasinya dilakukan secara efektif, dan kami di pemerintah pusat siap mendukung dengan berbagai macam bantuan yang dibutuhkan," kata dia lagi.   

Nadiem menjelaskan tiga dampak atau efek buruk dari penerapan PJJ yang berkepanjangan bagi siswa. Putus sekolah menjadi alasan yang paling utama.

"Pertama, ancaman putus sekolah," katanya. Mereka lalu terpaksa bekerja karena proses PJJ dari sekolah tidak optimal. Ditambah lagi akses internet kurang lancar.

Hal itu juga didukung adanya kemungkinan persepsi dari orang tua yang berubah pada peran sekolah karena proses pembelajaran yang tidak optimal tadi. "Ancaman putus sekolah ini nyata dan bisa berdampak seumur hidup bagi anak," kata pendiri Gojek tersebut.

Dampak yang kedua apabila PJJ terus berkepanjangan ialah penurunan capaian pelajaran atau materi yang didapatkan oleh peserta didik. Hal itu juga dapat terjadi karena kesenjangan akses atau sarana pembelajaran misalnya telepon seluler dan internet yang tidak semua dimiliki oleh anak di berbagai daerah sebagai media utama belajar dari rumah.

Akibatnya, Indonesia berpotensi atau berisiko mengalami generasi "learning loss". Ia memastikan akan ada dampak permanen dari masalah tersebut.

Berdasarkan studi, pembelajaran di kelas menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan penerapan PJJ.

Efek ketiga ialah peningkatan kekerasan terhadap anak dan risiko psikososial misalnya stres karena terus berada di dalam rumah, tidak bisa bermain keluar rumah hingga bertemu dengan teman-temannya.

Oleh karena itu, lanjut Nadiem, empat kementerian terkait mengeluarkan dua prinsip kebijakan pendidikan di masa pandemi Covid-19.

Pertama, kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran. Prinsip yang kedua ialah tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial juga menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama pandemi Covid-19.

IDI mengeluarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila pesantren ingin dibuka. - (Pusat Data Republika )




BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler