Turki-China: Dari Penggunaan Yuan Hingga Proyek Raksasa
Turki mulai memakai yuan dan menjual sejumlah perusahaan kepada China.
REPUBLIKA.CO.ID, -- Turki menghadapi persoalan ekonomi yang cukup serius sejak pandemi covid-19 muncul. Saat ini Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan menghadapi persoalan minimnya cadangan devisa, nilai tukar lira yang melemah atas dolar AS, dan pendapatan yang turun.
Mata uang lira jatuh dalam beberapa waktu terakhir. Inflasi masih dua digit di 12,6 persen pada Juni. Kondisi ini membuat Bank Sentral Turki menunda pemotongan suku bunga.
Saat ini suku bunga pinjaman Turki turun menjadi 8,25 persen. Pada Juli tahun lalu, suku bunga pinjaman mencapai 24 persen.
Bank Sentral Turki diminta mencegah mata uang lira atas dolar AS melemah agar inflasi tetap terjaga. Salah satunya, dengan menghabiskan puluhan miliar dolar AS dari cadangan devisa untuk intervensi pasar mata uang.
Kondisi ekonomi Turki yang memburuk disebabkan beberapa faktor. Di antaranya pandemi covid-19 dan krisis mata uang 2018 yang belum pulih.
Angka pengangguran, menurut data Institut Statistik Turki, mencapai 12,8 persen selama tiga bulan hingga Mei lalu.
Institut Statistik Turki menghitung ada 2,59 juta orang yang kehilangan pekerjaan selama tiga bulan hingga Mei. Pengangguran yang tinggi menjadi masalah serius saat ini.
Dengan kondisi ini, Turki semakin bergantung pada China untuk menghindari krisis ekonomi. "Kondisi ini menyimpan potensi jebakan untuk Ankara di masa depan," menurut analis George Marshall Lerner, seperti dikutip Daily Sabah, media Turki.
Lerner memberi sejumlah indikator ekonomi dan bisnis yang saat ini sedang berjalan antara Turki dan China. Salah satunya yang menarik perhatian adalah pertukaran mata uang (swap) lira dan yuan untuk perdagangan kedua negara.
China dan Turki setuju swap mata uang senilai 400 juta dolar AS. Langkah ini penting bagi Turki untuk membantu mengatasi masalah cadangan devisa dan utang luar negeri yang semakin besar.
Lerner mengatakan Beijing mengincar peluang ini untuk memastikan Turki menjadi bagian penting dari program Belt and Road Initiative (BRI) China. BRI merupakan proyek pengembangan infrastruktur global dan strategi investasi.
Akuisisi pun dilakukan perusahaan China kepada perusahan strategis Turki. Lerner menyebut sebuah perusahaan logistik China baru-baru ini membeli 48 persen saham Terminal Kumport seharga 940 juta dolar AS.
"Terminal ini terletak di pantai barat Laut Marmara. Kumport adalah terminal peti kemas terbesar ketiga di Turki dan berada di posisi strategis untuk masuk ke Eropa," tulis Lerner.
Pada November 2019, kata Lerner, Turki menyambut kereta barang pertama dari Xi'an China melalui Terowongan Marmaray yang dibangun dan didanai China.
“Dengan terowongan ini, kereta mana pun dapat melakukan perjalanan nonstop dari China ke Eropa untuk pertama kalinya,” katanya.
Dengan proyek ini, Turki diramalkan akan menjadi pusat proyek kereta api dan infrastruktur BRI yang menghubungkan Timur dan Barat.
Visinya, Turki akan berkembang dari pusat transit sederhana untuk LNG [gas alam cair], barang kargo, dan produk lainnya menjadi pusat perdagangan internasional global yang aktif.
Kerja sama ekonomi dengan China termasuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Turki senilai 1,7 miliar dolar AS.
Lerner memperingatkan investasi China mungkin tidak bisa mengimbangi skala krisis mata uang yang membayangi Turki. Jugam, masalah utang jangka panjang yang telah melonjak hingga lebih dari 300 miliar dolar AS.
Sebaliknya, Lerner mengatakan kerja sama dengan China ini akan meresahkan Amerika Serikat. "Ankara harus berhati-hati dalam mengembangkan ketidakseimbangan perdagangan yang besar," kata Lerner.
Ia memberi contoh ketidakseimbangan ekonomi antara China dan Tajikistan. Pada 2019, Tajikistan Mempunyai utang banyak ke China, yang kemudian harus menggantinya dengan aset sumber daya alam.