Dradjad: Efek Subsidi Gaji hanya 0,39 Persen Saja

Sekalipun kebijakan ini bagus, namun efek mendongkrak konsumsi sangat kecil sekali.

tangkapan layar
Ekonom Indef Dradjad Wibowo
Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF, Dradjad Hari Wibowo menyambut baik langkah pemerintah dalam memberikan subsidi upah bagi pekerja, sebesar Rp.600 ribu per bulan. Sekalipun demikian, Dradjad mengingatkan bahwa efek kebijakan tersebut sangat kecil untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, yang anjlok karena pandemi Covid-19.

“Kita perlu realistis jangan menaruh harapan terlalu tinggi, seolah program ini akan mengompensasi keseluruhan kontraksi konsumsi rumah tangga. Tidak bisa karena jumlahnya terlalu kecl,” kata Dradjad.

Program yang targetnya berjalan selama empat bulan, dengan jangkauan penerima 13,8 juta pekerja ini, kata Dradjad, jika targetnya tercapai dan tepat sasaran maka dana yang digelontorkan mencapai Rp.33,12 triliun.  Besaran dana ini, menurut Dradjad, kecil sekali untuk ukuran konsumsi rumah tangga.

Jika dihitung, menurut Dradjad, porsinya hanya 0,39 persen dari konsumsi rumah tangga. Dijelaskannya konsumsi rumah tangga di triwulan I sudah mencapai Rp.2280 triliun. Pada triwulan II sebesar Rp.2133 triliun. Sehingga porsinya sangat kecil. “Bahkan jika dihitung dengan multiplayer yang sangat tinggi, misalnya 5 dikalikan 0,39 maka angkanya masih saja kecil,” papar Ketua Dewan Pakar PAN tersebut.

Secara konsep, Dradjad sepakat dengan kebijakan tersebut. Kelompok masyarakat yang terpukul penghasilan maupun belanjanya, harus dibantu negara.  Ia juga sepakat dengan arah kebijakan yaitu untuk menjaga pertumbuhan maka konsumsi masyarakat tidak boleh terlalu anjlok. Dengan memberi subsidi pada pekerja, diharapkan bisa sedikit menahan anjloknya konsumsi.

“Cuma skalanya (yang diberikan pemerintah) memang masih kecil,” ungkapnya.

Mengenai langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah agar konsumsi tidak anjlok, Dradjad mengatakan, haus dilihat bahwa konsumsi rumah tangga perannya sangat besar bagi angka pertumbuhan ekonomi. Dari sisi pengeluaran, jelas Dradjad, sejak krisis 1998 perannya sekitar 55 hingga 60 persen dari PDB. “Pada kuartal II kemarin perannya 57,9 persen terhadap PDB. Jadi ini porsi pengeluaran yang terbesar,” kata Dradjad.

Pertumbuhan ekonomi sangat dekat dengan pertumbuhan konsumsi.  Dicontohkannya, pada 2020 kuartal I konsumsi tumbuh 2,83 persen, ekonomi pun juga ikut tumbuh 2,97 persen. Dan pada kuartal II ketika konsumsi terkontraksi minus 5,51 persen, maka pertumbuhan ekonomi juga minus 5,32 persen.

Ada dua faktor uata. Pertama, sebagian kelompok masyarakat penghasilannya anjlok sehingga konsumsi rumah tangganya anjlok. Kelompok ini adalah masyaakat yang saat ini dibantu pemerintah dengan subsidi gaji pekerja.

 Namun ada juga kelompok masyaraat kelas menengah atas yang penghasilnya tidak terlalu anjlok. Daya belinya masih tinggi, tapi menahan belanja untuk konsumsi maupun investasi. “Mereka menahan karena kasus covid-19 masih tinggi. Karena pergerakannya masih terhambat,” ungkap Dradjad.

Dijelaskannya pertumbuhan ekonomi sangat terpengaruh pada pergerakan manusia. Jika manusia tidak bergerak maka ekonomi juga tidak bergerak.

Kelompok masyarakat menengah atas ini, menurut Dradjad, tidak bergerak karena masih takut dengan kasus Covid-19. “Mereka tidak belanja branded produk, ataupun tidak melakukan perjalanan.

Jadi, lanjut Dradjad, langkah paling krusial untuk menahan anjloknya konsumsi rumah tangga adalah harus bisa mengendalikan pandemi covid-19. Jika pandemi terkendali maka masyarakat punya kepercayaan diri, baik untuk konsumsi maupun investasi.

“Karens itu hal paling krusial adalah mengendalikan pandemi Covid-19, supaya orang percaya diri untuk melakukan aktivitas fisik sehingga bersedia mengeluarkan uang untuk belanja konsumsi maupun investasi,” ungkapnya. Aktivitas belanja kelas menengah atas ini, lanjut Dradjad, porsinya sangat tinggi. Hampir 3/4 konsumsi berasal dari kelompok ini.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler