Nasib Restorasi Gambut dan Masyarakat Adat
Kawasan gambut sebelum BRG adalah lahan bancakan perusahaan sawit dan HTI.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Isu pembubaran Badan Restorasi Gambut memunculkan keraguan sekaligus kecemasan bagi masyarakat adat yang tinggal dan hidup di sekitar kawasan tersebut. Keraguan menyangkut komitmen pemerintah akan program restorasi gambut yang sesungguhnya masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Adapun kecemasan bisa digambarkan sebagai kekhawatiran masyarakat adat atas hilangnya peran negara yang selama ini dijalankan lembaga ad hoc di bawah presiden itu.
Semenjak BRG dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, optimisme akan pembenahan dalam hal pengelolaan lahan dan hutan gambut muncul. Lembaga ini lahir pada Januari 2016 setelah Indonesia mengalami tragedi kebakaran yang cukup hebat.
Bencana asap tahun 2015 banyak menimbulkan kerugian. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), 60 juta orang terpapar asap, 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar, dan kerugian material Rp 221 triliun.
Kebakaran besar itu dampak dari semakin banyaknya areal gambut yang dipaksa dikeringkan untuk kepentingan pembukaan lahan sawit dan hutan tanaman industri. Masyarakat adat yang mengelola areal gambut di tingkat tapak, dengan menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan prinsip utama areal tersebut sebagai lahan basah, justru terusir akibat maraknya izin konsesi di kawasan itu.
Bisa dibilang, periode sebelum ada BRG, kawasan gambut ibarat areal tak bertuan dan menjadi lahan bancakan bagi perusahan sawit dan HTI. Centang perenang pengelolaan kawasan gambut sejatinya sudah dimulai sejak bergulirnya Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Maraknya model ekonomi lahan kering di kawasan gambut dengan mengubahnya menjadi sawah, perkebunan sawit, dan HTI belakangan menimbulkan kerusakan ekologis dan sosial yang yang luar biasa. Masyarakat adat yang sudah teruji mengelola areal gambut dengan kearifan lokalnya menjadi korban karena terusir dari kawasan yang sudah turun-temurun mereka tempati.
Mereka juga menjadi korban langsung atas bencana kebakaran yang timbul sebagai dampak carut marutnya pengeloaan kawasan gambut ketika itu. Tak heran kalau pada periode sebelum ada BRG, masyarakat di sekitar kawasan lahan dan hutan gambut merasakan negara tidak hadir untuk mereka.
Angin segar itu bertiup ketika di awal pembentukannya BRG berkomitmen menggandeng masyarakat adat untuk merestorasi kawasan gambut. Tugas lembaga ini tak ringan dengan kewenangannya yang tidak besar.
Urgensi pembentukan BRG adalah mencegah kebakaran lahan gambut yang kerap berulang setiap tahun. Pembentukan lembaga ini juga untuk mewujudkan komitmen pemerintah Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen. Dengan luas mencapai 13,9 juta hektare, menurut data Badan Restorasi Gambut, seluruh lahan gambut Indonesia mengandung cadangan karbon sebesar 46 gigaton atau 8-14 persen total cadangan karbon dunia.
Karena peran vitalnya sebagai penjaga iklim global, keberadaan gambut Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Kerusakan gambut seperti perubahan tutupan lahan, keberadaan kanal-kanal buatan untuk pengeringan, dan kebakaran adalah sumber emisi karbon yang nyata. Karena itu, keberadaan lembaga yang bisa mencegah kebakaran sekaligus merestorasi restorasi gambut menjadi sangat penting dan tidak boleh setengah-setengah.
Sistem pengelolaan kawasan gambut yang ideal sesungguhnya sudah dipraktikkan masyarakat adat selama puluhan tahun. Prinsipnya sederhana, yakni dengan mempertahankan kawasan itu sebagai lahan basah sembari memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi lokal. Contoh praktik seperti ini terjadi pada masyarakat ada dengan budi daya Itik Alabio di Kalimantan Selatan, di Sumatra Selatan ada peternakan kerbau rawa, dan budi daya ikan masyarakat lahan gambut di Kalimantan Tengah.
Soal model pengelolaan kawasan gambut, masyarakat adat bisa dianggap sudah berpengalaman karena mereka memiliki sistem dan pengetahuan yang sudah mapan. Praktik yang diterapkan tidak sebatas pembasahan, tapi juga masyarakat adat juga melakukan revegetasi dan revitalisasi di areal gambut. Inilah apa yang disebut restorasi sesungguhnya.
Dengan pengalaman itu, sudah selayaknya masyarakat adat menjadi aktor utama dalam program restorasi gambut. Menurut data Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sampai 2019, ada 88 wilayah adat yang didalamnya memiliki Kesatuan Hidrologis Gambut dengan total luas mencapai 985,105 hektare. Wilayah adat semacam ini tersebar di Kalimantan, Papua, dan Sumatera.
Keberadaan BRG memberikan harapan bagi masyarakat adat untuk bertahan di kawasan gambut dengan praktik ekonomi lokalnya. Belakangan, program yang melibatkan masyarakat, termasuk masyarakat adat, juga kian intensif.
Sampai pertengahan 2020 ini, menurut data BRG, lembaga ini sudah mendorong terbentuknya 520 paket kegiatan ekonomi berbasis kelompok masyarakat sekitar gambut dan mendampingi 394 pemerintah desa untuk mendorong pembangunan desa berkelanjutan di sekitar areal gambut. Dengan program semacam ini, masyarakat adat merasakan negara hadir untuk mereka.
Karena sifatnya lembaga ad hoc, BRG tentu saja tidak bisa permanen keberadaanya. Namun, masa kerja lima tahun --seperti tertuang dalam peraturan presiden yang menjadi dasar hukum pembentukannya atau kemungkinan dipercepat seperti isu pembubaran belakangan ini, adalah waktu yang tidak cukup untuk kerja besar restorasi gambut.
Semestinya Presiden Joko Widodo belajar dari pembubaran Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut (BP REDD+) pada Januari 2015, yang tugasnya dilimpahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Setelah dibubarkan, peran vital lembaga yang dibentuk Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2013 itu tidak berlanjut sama sekali. Investasi besar yang sudah dikeluarkan pun terkesan sia-sia.
Bagi kalangan masyarakat adat, masa kerja BRG sudah sepatutnya diperpanjang dengan catatan kewenangannya diperkuat. Ini salah satunya menyangkut kewenangan restorasi di kawasan konsesi yang saat ini menjadi wewenang KLHK.
Ada beberapa kasus pecahnya konflik pengelola konsesi ini dengan masyarakat adat. Dengan memiliki kewenangan terhadap kawasan konsesi, pencegahan kebakaran juga bisa dimaksimalkan. Kebakaran lahan dan hutan gambut sebagian besar terjadi di kawasan konsesi.
Tidak kalah pentingnya, perpanjangan BRG juga vital untuk mengawal legalisasi perhutanan sosial di kawasan gambut. Pada akhir 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan Permen Nomor P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Sistem Gambut.Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada sedikitnya 259.738 usulan perhutanan sosial di lahan gambut. Karena selama ini BRG yang menjalankan peran pemberdayaan ini, sudah semestinya lembaga ini juga mengawal hingga proses legalisasi terbit. Legalisasi ini bukan sekadar pengakuan, tapi kepastian menyangkut izin dan hak masyarakat atas ekosistem gambut.