Mensyukuri Karunia Allah dengan Aqiqah

Umat disarankan melaksanakan aqiqah untuk bayi yang baru dilahirkan.

Republika/Akikah
Menyukuri Karunia Allah dengan Aqiqah. Foto: Akikah
Rep: Syahruddin El Fikri Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seluruh ibadah yang disyariatkan Allah memiliki tujuan dan manfaat yang besar untuk umat Islam. Shalat, misalnya, bertujuan mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS Al-Ankabut [29]: 45). Puasa bertujuan membentuk pribadi Muslim yang bertakwa (QS Al-Baqarah [2]: 183). Zakat bertujuan untuk membersihkan diri dan harta benda (QS At-Taubah [9]: 103).

Demikian pula dengan haji dan ibadah lainnya, seperti kurban, aqiqah, atau wudhu. Semuanya memiliki tujuan dan manfaat bagi manusia. Bahkan, dalam penciptaan langit dan bumi, terdapat hikmah bagi orang-orang yang berakal (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Umat Islam disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah pada bayi yang baru dilahirkan, yakni dengan menyembelih dua ekor kambing (domba) untuk seorang anak laki-laki dan seekor kambing untuk seorang anak perempuan.

Syariat aqiqah pertama kali dilakukan pada masa Nabi Ibrahim AS saat akan menyembelih putranya, Ismail. Kemudian, pada masa jahiliyah, tradisi aqiqah atau memotong hewan untuk anak yang baru dilahirkan juga pernah terjadi. Selanjutnya, sejak kedatangan Islam, seluruh syariat aqiqah yang bertentangan dengan Alquran diperbaiki.

Dahulu, pada masa jahiliyah, apabila salah seorang di antara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka, setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi, dan melumurinya dengan minyak wangi.” (HR Abu Dawud dari Buraidah).

Demikian juga diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban. Dari Aisyah RA, ia berkata, Dahulu, pada masa jahiliyah, apabila mereka beraqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah aqiqah. Lalu, ketika mencukur rambut si bayi, mereka melumurkannya pada kepalanya.” Maka, Nabi SAW bersabda, Gantilah darah itu dengan minyak wangi.”

Aqiqah sangat baik dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran bayi, hari ke-14, atau hari ke-21. Namun, jika tidak mampu, bisa dilakukan kapan saja sampai semuanya siap.

Selain menyembelih hewan, dalam tradisi aqiqah ini disunahkan pula untuk mencukur rambut bayi dan memberinya dengan nama yang baik. Setiap anak yang baru lahir tergadai dengan aqiqahnya sampai disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Aqiqah ini adalah bentuk syukur kepada Allah atas anugerah lahirnya seorang anak manusia ke dunia. Syekh Nashih Ulwan dalam kitabnya Tarbiyatul Awlad fil Islam menjelaskan, ada tujuh manfaat dari aqiqah.

Pertama, menghidupkan sunah Nabi Muhammad SAW dalam meneladani Nabi Ibrahim AS tatkala Allah SWT menebus putra Ibrahim yang tercinta, Ismail AS. Kedua, aqiqah mengandung unsur perlindungan dari setan yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu. Ketiga, aqiqah sebagai tebusan bagi anak untuk memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya kelak pada hari akhir.

Keempat, aqiqah merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah SWT dengan lahirnya sang anak.

Kelima, aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syariat Islam dan bertambahnya keturunan Mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah SAW pada hari kiamat.

Keenam, aqiqah dapat memperkuat ukhuwah (persaudaraan) di antara masyarakat. Ketujuh, aqiqah merupakan sarana untuk merealisasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan menghapuskan gejala kemiskinan di dalam masyarakat. Misalnya, daging yang dikirim kepada fakir miskin.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler