Sejarah Puasa Sunnah Asyura dan Tasu'a

Puasa Asyura berawal dari peristiwa Nabi Muhammad SAW hijrah.

Republika/Yasin Habibi
Sejarah Puasa Sunnah Asyura dan Tasu'a
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam sangat dianjurkan mengerjakan sunnah Rasulullah Nabi Muhammad SAW, disamping taat melaksanakan ibadah wajib. Sebentar lagi akan tiba waktu untuk mengerjakan puasa sunah Asyura dan Tasu'a pada 9 dan 10 Muharram.

Baca Juga


Pakar ilmu tafsir dan hukum Islam, Prof KH Ahsin Sakho Muhammad menceritakan sejarah awal mula puasa sunah Asyura dan Tasu'a. Berawal peristiwa Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah pada Rabiul Awal. Setelah beberapa bulan di Madinah, Nabi melihat orang-orang Yahudi di Madinah puasa Asyura pada 10 Muharram.

"Kemudian Nabi bertanya kepada mereka (orang-orang Yahudi), mengapa kamu berpuasa, mereka menjawab itulah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Raja Firaun," kata Kiai Ahsin kepada Republika.co.id, Selasa (25/8)

Ia menceritakan, pada 10 Muharram, Nabi Musa dan Bani Israil berhasil menyeberangi Laut Merah yang terbelah setelah Nabi Musa memukulkan tongkatnya. Mereka kemudian selamat dari kejaran pasukan dan Raja Firaun. Karena itulah kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura atau 10 Muharram sebagai bentuk rasa syukur mereka. 

Nabi Muhammad SAW kemudian mengatakan kepada kaum Yahudi bahwa ia lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada kalian Bani Israil. Nabi Muhammad SAW kepada kaum Yahudi mengatakan dirinya yang melanjutkan tugas kenabian dari nabi-nabi terdahulu.

"Akhirnya Nabi memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk berpuasa pada 10 Muharram," ujar Kiai Ahsin.

Selanjutnya, turun ayat Alquran yang berkaitan dengan puasa di bulan Ramadhan. Maka yang tadinya berpuasa pada 10 Muharram digantikan oleh kewajiban berpuasa Ramadhan. 

Nabi Muhammad SAW juga menyampaikan berpuasa pada 10 Muharram akan bisa mengampuni dosa-dosa selama satu tahun. "Puasa Asyura dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun yang lalu," (HR Muslim).

 

 

Kemudian Nabi Muhammad SAW juga mengatakan, kalau seandainya masih diberi umur selama satu tahun ke depan, maka akan melaksanakan puasa pada 9 Muharram. Menurut Kiai Ahsin, puasa pada 9 Muharram bertujuan supaya tidak sama antara puasanya Nabi dan kaum Yahudi.

"Nabi ingin agar supaya puasa sejak 9 Muharram sampai 10 Muharram, jadi dua hari puasanya, supaya berbeda puasanya dengan kaum Yahudi. Hanya saja Nabi sebelum sampai Muharram tahun depan sudah wafat terlebih dahulu," kata Kiai Ahsin.

Menurut Kiai Ahsin, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dari sejarah puasa Asyura ini. Pertama, puasa sunah bentuk tenggang rasa dan toleransi Nabi terhadap orang Yahudi. Di sini Nabi ikut berpuasa pada 10 Muharram seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi di Madinah.

Nabi juga begitu sampai ke Madinah, shalatnya menghadap ke Baitul Maqdis di Yerusalem selama sekitar 1,5 tahun. Seperti orang-orang Yahudi di Madinah yang sembahyang menghadap ke Baitul Maqdis. 

Infografis Waktu-Waktu Berpuasa di Bulan Muharram - (Dok Republika)

"Itulah cara Nabi bertoleransi terhadap orang Yahudi di Madinah," ujarnya.

Kiai Ahsin juga menceritakan saat belajar di Madinah, sempat diajak dosennya ke istana orang Yahudi yang sangat memusuhi Nabi Muhammad SAW. Di sana ada mihrab yang masih menghadap ke Baitul Maqdis.

Lantas apakah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram atau puasa Asyura dan Tasu'a disunnahkan? Kiai Ahsin mengatakan puasa Asyura dan Tasu'a tersebut disunnahkan karena itu keinginan Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadits dikatakan Nabi berniat melaksanakan puasa pada 9 dan 10 Muharram di tahun yang akan datang, hanya saja Nabi lebih dulu wafat.

"Jadi kalau Muslim berpuasa pada 9 dan 10 Muharram melaksanakan puasa, ya bagus saja, karena orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Nabi akan mendapatkan pahala," ujar Kiai Ahsin.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler