Resep Hidup Abah Anom dalam Hidup dan Jalani Ibadah di Dunia
Abah Anom mempunyai resep tersendi jalani hidup dan ibadah dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, Praktik keagamaan Syekh Shohibul Wafa Tajul Arifin atau Abah Anom yang integral di berbagai aspek kehidupan, ternyata berawal dari pemahaman tentang makna zuhud.
Jika sebagian kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam, menurut pendapat Pangersa Abah Anom, “Zuhud adalah qasr al-amal, artinya pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi, zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang-camping.”
Pendapatnya mengacu kepada surat an-Nur ayat 37:
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.”
Rasulullah adalah patokan ideal sesuai ayat tersebut. Suami dari Khadijah tersebut seorang pedagang, tapi kesibukannya berdagang tak membuat lalai terhdap Allah. Memimpin masyarakat, tapi dalam memimpin tidak terlena dan lupa untuk mengingat-Nya.
Jadi, menurut Pangersa Abah Anom bahwa seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah. Atau, seperti pernyataan Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan qalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”
Jika kita benar-benar mencintai Rasulullah melebih yang lain, buktikanlah. Salah satunya, mengikuti jalan kezuhudan seperti teladannya. Orang yang mencintai tentu ingin seperti yang dicintai.
Zuhud terhadap dunia, resep dicintai 'penghuni langit’. Rahasia ini sesuai dengan firman Allah SWT:
قُلْ مَتَٰعُ ٱلدُّنْيَا قَلِيلٌ وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS an-Nisaa' [4]: 77).
Dalam surat al-Hadid ayat 23 Allah berfirman:
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan, Allâh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Rasul juga menegaskan dalam hadits riwayat Muslim bahwa sikap bijak seorang Muslim dalam menyikapi harta dan kekayaan adalah selalu bersyukur. Lihatlah kondisi orang lain yang berada di bawahnya sehingga dengan cara itu, ia akan selalu merasa banyak dan cukup dengan nikmat Allah baginya. Karena itu pula, Rasul tak segan memberikan harta terakhirnya kepada seorang sahabat yang lebih membutuhkan. Kenapa hal itu dilakukan Rasulullah? “Rezekiku besok sudah ditetapkan Allah,” titah Rasul.
Sementara itu, zuhud atas kepemilikan manusia adalah rahasia Rasulullah dicintai “penduduk” bumi. Imam al-Junaid berkata, “Zuhud ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.” Bahkan, Ali bin Abi Thâlib berpandangan, “Zuhud berarti tidak peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang yang beriman atau tidak.”