Titik Lemah Umat Manusia yang Rentan Jerumuskan ke Dosa

Terdapat titik lemah yang rentan dilakukan umat manusia di dunia.

Republika/Rakhmawaty La'lang
Terdapat titik lemah yang rentan dilakukan umat manusia di dunia. Ilustrasi amanat di dunia.
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Baca Juga


لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

''... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.''(QS Al-Araf: 179).

Dari ayat di atas, jelas bahwa Allah SWT menghendaki eksistensi manusia yang bertanggung jawab baik dalam berbicara maupun bertindak, karena Allah SWT menciptakan manusia di atas bumi ini sebagai khalaif fil ard (penguasa bumi). 

Artinya, manusia harus membawa misi-misi Allah SWT yang diamanahkan kepadanya dan harus menunjukkan sifat-sifat yang sempurna yang dapat diteladani orang lain.  

Dalam surat at-Tin 4-5, Allah menggambarkan keadaan manusia yang memiliki kurva naik dan turun, sesuai dengan tanggung jawab dan amanah yang dia pikul. Manakala tanggung jawab dan amanah itu dijalankan dengan baik, manusia disebut sebagai ahsan taqwim (penciptaan yang sempurna). Dan untuk mencapai pada derajat semacam itu lain tidak hanya melalui iman dan amal saleh.

Pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah), manusia akan jatuh pada nilai yang paling rendah (asfala saafilin) jika dia hanya mengikuti hawa nafsu, melakukan penipuan terhadap Allah SWT dan sesama manusia, merasa diri punya kekuasaan mutlak, dan sifat-sifat yang tercela lainnya. Oleh karenanya, manusia mempunyai tugas yang mulia, yakni beramal saleh untuk menjaga keseimbangan di atas bumi ini, sesuai dengan tuntunan Allah. 

Bumi dengan segala isinya diserahkan sebagai amanah bagi manusia untuk mengagungkan dan mengabdi pada-Nya, karena manusialah yang berani bertanggung jawab memegang amanah ini.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(QS 33: 72).

Maka wajarlah kalau para filsuf membedakan manusia dengan hewan melalui akal pikirannya. Apabila tindak-tanduk dan bicara manusia tidak lagi mempergunakan akal pikiran, maka kemanusiaannya gugur dan dia kembali sebagai basyar (yakni gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, dan berkehendak semata memenuhi kebutuhan kehidupannya). Sikap manusia semacam ini dicela oleh Allah SWT.      

Dalam surat Al-Alaq, Allah menggambarkan manusia dengan segala keistimewaannya telah melampaui batas karena telah merasa puas dengan apa yang ia punyai. Berapa banyak manusia tergelincir disebabkan ketidakmampuannya memikul amanah Allah. Mungkin lewat jabatan, pangkat, keharuman nama, dan hartanya.

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler