Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi tidak Berdiri Sendiri
menjadikan protokol kesehatan ini sebagai bentuk adaptasi kebiasaan baru.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemulihan ekonomi di masa pandemi tidak bisa berdiri sendiri karena tergantung pada bekerjanya dua faktor yang lain, yakni penanganan kesehatan dan jaring perlindungan sosial.
Hal tersebut disampaikan Sekjen Pengurus Pusat KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana, dalam acara acara seminar KAGAMA Inkubasi Bisnis (KIB) ke-XIV, bertajuk Pemulihan Ekonomi Indonesia di Masa Pandemi, yang digelar secara daring.
“Presiden Jokowi telah menggunakan strategi besar tersebut secara seimbang yakni, antara penanganan masalah kesehatan, memperkuat jaring perlindungan sosial, dan menyiapkan stimulus pemulihan ekonomi, yang diibaratkan seperti pergerakan gas, rem, dan kopling secara terukur.
"Pemulihan ekonomi tak bisa berjalan cepat bila pengendalian Covid-19 tidak tertangani dengan baik dan cepat,” kata pria yang juga menjadi Koordinator Staf Khusus Presiden dalam di Jakarta, Senin (28/9).
Untuk penanganan kesehatan, kata Ari, menjadi prioritas utama pemerintah. Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah juga mengeluarkan jaring perlindungan sosial dengan memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak.
Ekstensifikasi berbagai skema bantuan sosial terutama yang bersifat cash transfer akan mendorong konsumsi rumah tangga dan menggerakkan demand side. Skema perlindungan sosial, kata Ari, merupakan salah satu cara untuk mempertahankan daya beli.
“Mulai dari skema bantuan PKH, bansos tunai, BLT Dana Desa, Kartu Pra Kerja, subsidi gaji, bansos produktif, program padat karya tunai dan sebagainya. Hal ini penting juga untuk menjaga jaring pengaman sosial supaya masyarakat tercukupi dulu kebutuhannya,” kata dia.
Sementara itu untuk pengendalian di skala lokal, Ari menjelaskan, ada dua mekanisme yang secara simultan bekerja di dalamnya, seperti edukasi publik. Masyarakat diimbau tidak hanya sekedar mematuhi protokol kesehatan saja, tetapi menjadikan protokol kesehatan ini sebagai bentuk adaptasi kebiasaan baru.
“Cara-cara edukatif itu memang perlu kita dorong dengan melibatkan sosiolog, antropolog, budayawan, agamawan,”ujarnya.