Putuskan Bersyahadat, Mualaf Jessica: Islam Masuk Akal
Jessica Carla bersyahadat setelah melakukan diskusi maraton.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada awalnya, tutur Jessica Carla, tidak ada seorang pun yang mengenalkan Islam kepadanya. Dalam arti, ia tidak pernah menerima dakwah. Bagaimanapun, tak sedikit kawan-kawannya yang berasal dari komunitas Muslim.
“Saya sejak SMP banyak bergaul dengan teman-teman yang memeluk agama Islam. Keluarga besar saya juga relatif multi-religi,” ujar Jessica mengisahkan perkenalannya dengan Islam kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, periode antara tahun 2003 dan 2011 cukup kelam baginya pribadi. Ketika itu, ia sedang mengalami rasa ketidakpastian, semacam quarter life crisis yang harus dihadapi. Apalagi, kenyataan pahit mendera. Bisnis ayahnya terkena musibah sampai-sampai bangkrut total. Perlahan-lahan, keluarganya jatuh miskin.
Pada 2011 menjadi titik puncak krisis dalam hidup perempuan ini. Jessica mengenang, waktu itu diri nya merasa ditimpa terlalu banyak masalah. Bahkan, tebersit gagasan dalam benaknya untuk menyalahkan Tuhan.
Ia memutuskan untuk berhenti percaya pada Tuhan dan agama. Padahal, sejak kecil dirinya dididik dalam lingkungan yang cukup religius. Orang tuanya selalu mengajarkan anak-anak agar teguh beriman.
Mereka pun rutin beribadat dan menyerahkan persembahan. Suatu hari, di tengah diskusi seputar hidup, seorang kerabat mengajukan pertanyaan yang mengusik hatinya. Kerabatnya itu bertanya, “Kamu memeluk agama kamu saat ini sejak lahir, itu sudah pemberian. Apakah kamu yakin, itu adalah yang terbaik untukmu?”
Waktu itu, Jessica tidak sampai menjawabnya dengan lugas. Namun, entah mengapa kata-katanya terus terngiang dalam pikiran. Ia ingin mencari jawaban yang pasti. Akhir 2012, ia pun mulai mempelajari agama-agama lain, di luar Kristen. Mulanya, ia berupaya mempelajari agama Katolik. Sebab, dirinya sempat menempuh pen didikan SD hingga SMP di sebuah lembaga pendidikan yang bercorak Katolik.
Anehnya, kenang Jessica, dirinya kemudian justru jatuh cinta pada Islam. Ketertarikan ini mulai muncul setelah ia membaca buku berjudul Mengapa Saya Masuk Islam karya Drs Dyayadi MT.
Selain itu, ada pula buku yang baginya eyeopening, yaitu Mualaf karya John Michaelson. Untuk diketahui, pada 2010-an internet belum menjadi acuan referensi kebanyakan orang. Umumnya masyarakat masih mengandalkan buku-buku bacaan.
Prosesnya dalam mempelajari Islam sempat mengalami pasang surut. Itu terutama berlangsung selama kurun waktu 2012-2014. Awalnya, ia hanya belajar seorang diri. Akan tetapi, Jessica merasa, metode itu tak akan cukup membantunya dalam menggali perihal seluk-beluk agama ini. Oleh karena itu, ia pun mulai membuka diri.
Di berbagai kesempatan, bila memungkinkan, ia menceritakan ketertarikannya akan Islam kepada kerabat, sahabat, dan bahkan seorang atasan di kantor tempatnya be kerja. Dari mereka semua, Jessica mulai mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini. Akhirnya, seorang kawan menghu bungkannya dengan komunitas pengajian.
“Saya sempat dibantu, dipertemukan dengan dua orang ustadz untuk berdialog,” kata perempuan 32 tahun ini. Namun, Jessica saat itu mulai merasa dirinya didoktrin.
Hal itu sempat membuatnya ragu-ragu. Atas saran kawannya yang lain, ia diajak untuk bertemu Ustadz H Syamsul Arifin Nababan. Mubaligh ini bukan sekadar penceramah, tmelainkan telah lama aktif dalam membina mualaf. Salah satu kiprahnya ialah mendirikan Yayasan Annaba Center, sebuah pesantren mualaf.
Bersama temannya, Jessica pun mendatangi tempat ustadz tersebut. Setelah berdialog cukup panjang, ia terkagum-kagum dengan penjelasan sang kiai mengenai Islam. Sebab, penjelasan menjawab semua pertanyaannya selama ini tentang agama tersebut. Tidak hanya merujuk pada dalil-dalil kitab suci, Ustadz Nababan juga menyuguhkan argumentasi yang logis dan empiris.
Sejak itu, Jessica menjadi semakin giat dan bersemangat mendalami Islam. Sampai pada suatu siang, entah bagaimana, ia mengaku tiba-tiba merasakan tekad yang begitu besar dalam hatinya untuk segera memeluk Islam.
“Namun jujur, saya takut bagaimana menghadapi keluarga saya. Waktu itu, saya belum terbuka pada mereka tentang banyak hal dalam hidup saya, termasuk sedang belajar Islam ini,” katanya.
Karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun menelepon Ustadz Nababan. Jessica masih ingat betul satu kalimat yang keluar dari lisan dai tersebut, Tidak semua orang mendapatkan hidayah. Hidayah bisa dicabut kapan saja sesuai kehendak Allah.
Bersyahadat
Ustadz Nababan mengusulkan kepadanya untuk mengikrarkan syahadat pada saat acara peletakkan batu pertama pembangunan Asrama Mualaf Puteri Annaba Center. Hingga saat itu, Jessica disarankan untuk terus membaca buku-buku tentang Islam, termasuk kisah Rasulullah SAW dan para sahabat. Ia ingat, kisah tentang Sumayyah binti Khayyat sungguh menggugah hatinya.
Malamnya, dengan keyakinan bulat Jessica mengonfirmasi kepada Sang Ustadz bahwa dirinya siap bersyahadat. Prosesi itu dilakukan pada 24 Desember 2014 di area yang seka rang menjadi Pesantren Pembinaan Mualaf Puteri Yayasan Annaba Center.
“Saya menangis, antara bahagia, grogi karena jelas hadirinnya (jamaah yang menyaksikan, Red) ada lebih dari 100 orang. Kemudian, kepikiran juga, takut menghadapi keluarga saya,” kata Jessica mengingat kembali momen penting dalam hidupnya itu.
Saat ditanya mengapa memilih Islam, ia mengaku, dalam agama ini semuanya serba masuk akal. Selain itu, akidah dan prinsip keyakinan Islam juga begitu sederhana, menganut prinsip tauhid sejak Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW.
“Tidak hanya itu, kaidah ibadah Islam juga tidak memberatkan umat nya. Awalnya, saya sempat kaget. Loh, zakat cuma 2,5 persen?” katanya.
Setelah melakukan syahadat, ia langsung melakukan sholat perdana. Masih jelas dalam ingatannya, sholat zuhur itu dilakukan secara terbatabata. Sesekali, dirinya melakukan gerakan sholat sembari membaca buku panduan agar bisa melafalkan bacaan berbahasa Arab.
Ia mengaku sangat bersyukur ke hadirat Ilahi. Tak sedikit kawan-kawan Muslimah yang membimbingnya agar semakin baik dalam ibadah. Beberapa dari mereka sampai-sampai memberikan koreksi, misalnya, terkait gerakan sholat yang benar, bacaan Alquran, dan lain-lainnya.
Saat ini, Jessica mulai mendisiplinkan dirinya. Tidak hanya sholat wajib lima waktu, tetapi juga beberapa amalan sunah, seperti sholat rawa tib dan dhuha. Begitu pula dengan sholat istikharah dan tahajud. Semua itu dilakukannya meskipun belum sampai pada taraf rutin setiap hari.
“Alhamdulillah lagi, saya diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah umrah pada 2017. Di Tanah Suci, saya banyak menda patkan pengalaman luar biasa sebagai refleksi diri. Keharuan dan kedamaian di hati saat saya melihat Ka'bah untuk pertama kalinya dengan mata kepala saya sendiri,” katanya mengisahkan.
Pada 2016, Jessica menikah dengan seorang Muslim yang dicintainya. Islam mengajarkan, dalam berumah tangga suami-lah yang berperan sebagai pemimpin sekaligus pembimbing bagi istri dan anak-anak.
Jessica melihat sang suami betul-betul menghayati perintah agama ini. Yang membuatnya semakin suka cita, pasangan hidupnya itu cenderung mengayomi, alih-alih memaksa apalagi mendoktrin dirinya.
“Keluarga suami juga cukup memberikan dukungan. Selain ibu mertua, keluarga besar suami saya juga mengelola pondok pesantren di Pabelan, Jawa Tengah,” katanya.
Setahun lalu, ia dan suaminya sempat melakukan rihlah ke pondok pesantren tersebut. Bagi Jessica sendiri, inilah kesempatan untuk mengejar ketertinggalan dalam menuntut ilmu-ilmu agama, terutama kemampuan membaca Alquran.