Pengadaan Vaksin Covid-19 untuk Negara Miskin tak akan Mulus
Negara maju sudah mengamankan pasokan, meski vaksin belum ditemukan.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Proyek kemanusiaan yang ambisius untuk mengirimkan vaksin Covid-19 kepada negara-negara miskin dunia sepertinya tak akan melewati jalan mulus. Ada kendala potensial berupa kekurangan uang, ketersediaan pesawat kargo dan pendingin untuk menyimpan vaksin, serta kepastian ditemukannya vaksin Covid-19.
Masalah utamanya datang dari negara-negara kaya yang telah memborong sebagian besar pasokan vaksin potensial dunia hingga tahun 2021. Negara adidaya, seperti Amerika Serikat (AS) dan negara lainnya, sudah menyatakan penolakannya untuk bergabung dalam proyek kemanusiaan yang disebut Covax ini.
"Pasokan vaksin tidak akan ada dalam waktu dekat dan uangnya juga tidak ada,” kata Rohit Malpani, konsultan kesehatan masyarakat yang sebelumnya bekerja untuk Doctors Without Borders (MSF) dikutip dari AP, Kamis (1/10).
Covax dianggap sebagai cara memberi banyak negara akses ke vaksin Covid-19 tanpa melihat kesanggupannya untuk membeli. Meskipun vaksinnya belum ditemukan, Covax menargetkan dapat mengamankan dua miliar dosis vaksin Covid-19 pada akhir tahun 2021 untuk 7,8 miliar orang di dunia.
Sejumlah negara maju di dunia telah bernegosiasi secara langsung dengan perusahaan obat. Artinya, mereka tidak perlu berpartisipasi sama sekali dalam upaya yang digulirkan Covax. China, Prancis, Jerman, Rusia, dan AS tidak berniat untuk bergabung.
"Sebagai benua dengan 1,2 miliar orang, kami masih memiliki kekhawatiran," kata direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika John Nkengasong.
Uni Eropa (UE) telah menyumbang 400 juta euro untuk mendukung Covax. Namun, sebagai mosi tidak percaya, blok 27 negara tidak akan mengikuti Covax untuk membeli vaksin.
Covax dipimpin oleh GAVI, WHO, dan Koalisi CEPI mengumumkan pada bulan September bahwa negara-negara yang mewakili dua pertiga populasi dunia telah bergabung dengan Covax. Namun, mereka mengakui bahwa mereka masih membutuhkan sekitar 400 juta dolar AS lebih dari pemerintah atau sumber lain. Tanpa itu, Gavi tidak dapat menandatangani perjanjian untuk membeli vaksin.
Covax telah mencapai kesepakatan besar pekan ini untuk 200 juta dosis dari pembuat vaksin India Serum Institute. Namun, perusahaan itu menyatakan, produksinya sebagian besar akan diberikan kepada orang-orang di India.
Pada akhir tahun depan, Gavi memperkirakan proyek tersebut akan membutuhkan lebih dari 5 miliar dolar AS. Covax mengatakan, negosiasi untuk mengamankan vaksin terus berlanjut meskipun kekurangan dana.
Aurelia Nguyen dari Gavi selaku direktur pelaksana Covax, mengatakan bahwa tidak ada hal serupa yang pernah dicoba dalam kesehatan masyarakat. "COVAX adalah proyek yang sangat ambisius. Tetapi, itu adalah satu-satunya rencana untuk mengakhiri pandemi di seluruh dunia," kata Nguyen.
Namun, proyek ini menghadapi keraguan dari negara-negara miskin dan aktivis soal seberapa efektif proyek itu. Dr. Clemens Auer, yang duduk di dewan eksekutif WHO sekaligus negosiator utama UE untuk kesepakatan vaksin mengatakan, kurangnya transparansi mengganggu cara kerja Covax.
“Kami tidak akan memiliki suara mengenai vaksin, harga, kualitas, platform teknis atau risikonya,” kata Auer.
Auer mengatakan, WHO tidak pernah berkonsultasi dengan negara tentang strategi vaksin yang diusulkan. Auer menyebut, tujuan badan kesehatan untuk memvaksinasi orang yang lebih membutuhkan di dunia merupakan gagasan mulia, tetapi naif secara politik.
Sebagai bagian dari Covax, WHO dan Gavi telah meminta negara-negara untuk memprioritaskan petugas kesehatan garis depan dan orang tua, dengan tujuan memvaksinasi 20 persen populasi dunia. Selain itu, hambatan lainnya yakni, vaksin diperkirakan membutuhkan dua dosis.
Artinya, jarum suntik dua kali lebih banyak, pembuangan limbah dua kali lebih banyak, dan komplikasi yang terlibat dalam memastikan pasien di pelosok dunia menerima dosis kedua tepat waktu dan tetap bebas dari efek samping. “Karena fakta bahwa kami sedang mencoba mengeluarkan vaksin secepat mungkin, kami melihat data tindak lanjut dan kemanjuran yang terbatas,” kata Gian Gandhi, yang menjalankan logistik dari divisi pasokan Unicef di Kopenhagen.
Ada juga kekhawatiran bahwa ketakutan akan tuntutan hukum dapat membatalkan kesepakatan. Menurut dokumen internal, Gavi mengatakan, perusahaan obat akan meminta jaminan mereka tidak akan menghadapi klaim tanggung jawab produk atas kematian atau efek samping dari vaksin mereka.
Nakorn Premsi, Direktur Institut Vaksin Nasional Thailand, mengatakan, para pejabat sedang meninjau syarat tersebut. Pasalnya, Thailand sejauh ini hanya menandatangani perjanjian tidak mengikat dengan Covax.
Alicia Yamin, seorang dosen kesehatan global di Universitas Harvard, mengkhawatirkan pintu Covax telah tertutup sebelum bisa diterapkan. Dia mengatakan, sangat mengecewakan ketika Gavi, WHO, dan mitranya tidak mendorong perusahaan farmasi lebih keras pada kekayaan intelektual atau lisensi terbuka demi membuat lebih banyak vaksin tersedia.
Dengan sedikit bukti tentang perubahan mendasar dalam dunia kesehatan global, Yamin mengatakan, kemungkinan negara berkembang harus bergantung pada vaksin yang disumbangkan daripada program alokasi yang adil.
"Saya akan mengatakan bahwa negara-negara miskin mungkin tidak akan divaksinasi sampai 2022 atau 2023,” kata Yamin.