Tingkatkan Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi
Ketahanan keluarga di masa pandemi sangat penting.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Di masa pandemi virus corona jenis baru (Covid-19), ketahanan keluarga dan ketahanan lingkungan menjadi sangat penting. Sebab, maraknya kasus perceraian yang terjadi di masa pandemi menjadikan anak sebagai salah satu kalangan yang paling besar menanggung dampak perceraian.
Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Persatuan Pengurus (PP) Aisyiyah Widyawati menekankan, perceraian dapat menimbulkan beragam dampak terhadap anak. Di luar masa pandemi saja, kata dia, dampak perceraian orang tua menjadi beban yang tidaklah mudah bagi anak.
“Apalagi di masa pandemi begini, tentunya akan semakin sulit bagi anak untuk menanggung bebannya,” kata Muslimah yang kerap disapa Wiwied ini saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.
Adapun dampaknya meliputi aspek psikologis, ekonomi, hingga persepsi budaya. Untuk itu menurutnya, konsep ketahanan keluarga pasca-perceraian pun harus didukung oleh pendekatan yang baik. Bahkan apabila permasalahan rumah tangga masih bisa diatasi, suami-istri diharapkan tidak melakukan perceraian.
Di masa pandemi seperti ini, kata dia, perceraian hanya akan memperkeruh suasana.
Sebab yang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi adalah tentang bagaimana umat manusia dapat menempuh cobaan ini dengan sebaik-baiknya dan mampu melewati dengan seksama. “Ketahanan keluarga itu yang diharapkan adalah bagaimana anggota keluarga itu bisa saling support satu sama lain untuk bisa eksis. Baik istri ataupun suami. Kita kan harus survive hidup di masa-masa seperti ini,” kata dia.
Sehingga apabila kebutuhan dalam menghadapi pandemi ini belum terpenuhi dan perceraian terjadi, maka dampak ekstra akan dialami oleh anak. Namun demikian, kehidupan pasca-perceraian pun diharapkan dapat disokong dan dibantu dari keluarga inti, seperti paman, bibi, nenek, dan keluarga inti lainnya.
Namun demikian apabila seseorang tidak memiliki keluarga inti atau hidup jauh dari keluarga inti, ketahanan lingkungan pun patut diandalkan. Kuncinya adalah dengan menanamkan sikap kepedulian kepada tetangga dan lingkungan sekitar.
“Ketahanan lingkungan harus dijaga, karena elemen ini juga sangat penting. Apa-apa pasti kita butuh tetangga, termasuk juga di saat dampak perceraian ini kepada anak dan kebetulan mereka tinggal jauh dari keluarga inti,” pungkasnya.
Untuk itu, setiap keluarga diharapkan dapat berpikir jernih di masa pandemi ini. Agar hal-hal buruk belakangan dari keputusan yang diambil tidak berdampak kepada anak. Dia pun menyarankan agar setiap pihak dapat saling peduli satu sama lain agar kebutuhan-kebutuhan pokok dapat terpenuhi.
“Yang paling penting di masa pandemi ini kan bagaimana kita bisa survive, bisa makan, berkumpul dengan keluarga. Semoga kita dijauhkan dari marabahaya," ujarnya.
Ketua Pengurus Harian Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Sri Mulyati pun menyayangkan tingginya kasus perceraian yang terjadi. Data menyebutkan, dalam kurun waktu Juni-Juli 2020 terdapat 57 ribu kasus perceraian di Indonesia.
“Tentunya ini sangat memprihatinkan dan sedih ya,” kata dia.
Menurutnya, upaya untuk mempertahankan rumah tagga dalam ketahanan keluarga harus diiringi dengan sikap saling sabar dan berpikir rasional. Jangan sampai setiap pasangan rumah tangga memperturutkan emosinya. Sejatinya, kata dia, setiap pasangan harus mencari solusi yang tepat dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
Sebab dia menilai, dampak perceraian bagi anak sangatlah buruk. Dampak itu dapat mempengaruhi mental dan kejiwaan di saat orang tua berpisah di masa krisis seperti pandemi Covid-19. Tak lupa, pihaknya juga menyarankan agar setiap keluarga untuk mencari alternatif solusi dalam menjaga ketahanan keluarga.
“Seperti membaca Alquran, shalat tahajud, mohon petunjuk kepada Allah, dan terapi wudhu,” pungkasnya.