Jadi Saksi Lepasnya Timor Timur dari Indonesia

Ada sesak saat meninggalkan Timtim yang kini dikuasai Australia.

dok. Republika
M Subroto, Jurnalist Republika
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Jajak pendapat mengenai nasib Timor Timur (Timtim) yang diselenggarakan 30 Agustus 1999, dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan. Timtim yang menjadi provinsi ke-27 Indonesia lepas menjadi negara sendiri.

Walaupun sudah lepas dari Indonesia, Timtim tidak langsung memproklamirkan kemerdekaannya. Untuk sementara kekuasaan dipegang oleh Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (UNTAET).

Selama masa transisi itu banyak persoalan harus diselesaikan, di antaranya masalah perbatasan. Banyak terjadi pelanggaran batas wilayah oleh tentara Australia yang tergabung dalam UNTAET.



Pihak TNI akan membicarakan persoalan perbatasan itu  dengan UNTAET di Dili, ibu kota Timtim pada 11 April 2000. Aku dan beberapa orang wartawan di Jakarta diajak Mabes TNI ikut serta mengikuti proses tersebut.

Ini seperti liputan ke luar negeri. Memang Timor Timur belum resmi jadi negara, tapi  untuk masuk ke sana tetap saja harus membawa pasport.

Kami menginap semalam di Kupang, besoknya baru terbang ke Timtim. Perjalanan cukup menyenangkan. Dari atas pesawat CN-235 milik TNI AU kami menyaksikan wilayah Timtim yang berbukit dan berpantai.

Ini kunjungan pertamaku ke Timtim. Aku berharap bisa berkeliling kota Dili nanti.

Sampai di Bandara Comoro, suasana ceria di atas pesawat berubah mencekam. Begitu turun pesawat, kami disambut dengan pengawalan tentara Australia yang berbadan besar-besar. Wajahnya dingin, tak ada senyuman. Masing-masing menenteng senjata laras panjang.

Kami tak bisa melangkah jauh dari pesawat. Suasana bandara seperti barak militer. Kendaraan militer lalu lalang, tentara berjaga-jaga. Di pinggir lapangan udara banyak kotak-kotak kayu bertumpuk-tumpuk, membentuk barikade.

Suasana seperti mau perang. Aneh, mau perang dengan siapa?

Kami langsung dinaikkan ke mobil penjemput. Mobil rombongan berjalan beriringan. Di depan dan belakang  kendaraan militer Australia mengawal konvoi. Di udara sebuah helikopter mengikuti iring-iringan kami.

Di tiap sudut jalan aku melihat banyak tentara Australia berjaga lengkap dengan senapan di tangannya. Bendera Australia berkibar bersama dengan bendera PBB di banyak tempat. Tak terlihat satupun bendera Indonesia.

Tak banyak penduduk sipil lalu lalang. Kendaraan yang lewat pun bisa dihitung dengan jari. Di beberapa tempat aku melihat bangunan-bangunan bekas terbakar.

Konvoi berhenti di bekas kantor Kodim Timor-Timur. Pangdam IX/Udayana, Mayjen Kiki Syahnakri bertemu dengan Komandan Pasukan Pemelihara Perdamaian  PBB, LetnanJenderal Jaime de los Santos. Mereka membahas Memorandum Kesepahaman (MoU) soal perbatasan.

Kami wartawan menunggu di luar tempat pertemuan. Tak boleh ke mana-mana. Pasukan Australia bersenjata lengkap mengawasi gerak-gerik kami, seperti menjaga tawanan agar tidak lari.

Dari turun dari pesawat tadi kami memang bak tawanan. Dikawal ketat, tak boleh ke mana-mana.

Padahal aku ingin keliling Kota Dili. Tadinya aku berencana membuat ficer kondisi Dili pascajajak pendapat. Aku sempat mau menyelinap keluar. Tapi seorang tentara Australia menghalau saat aku baru mau keluar pagar.

Sambil menunggu pertemuan aku mengobrol dengan wartawan Timtim. Sebagian mereka masih bekerja untuk media di Jakarta. Mereka bilang, kehidupan pascajajak pendapat tak lebih baik dibandingkan saat mereka masih bergabung dengan Indonesia.

“Dulu kami jadi warga kelas dua, sekarang jadi warga kelas empat,” keluh seorang koresponden sebuah surat kabar di Jakarta. “Dulu kalau mengirim berita kami bisa titip faks di Kodim, sekarang mana bisa lagi,” timpal yang lain.

Aku tak banyak menanggapi. Presiden Habibie menurutku sudah mengambil keputusan sangat bijak untuk memberi kesempatan masyarakat Timtim memilih jalan mereka. Selama ini masalah Timtim selalu jadi ganjalan Indonesia di dunia internasional.Timtim sudah mengambil keputusan. Lebih dari 78 persen warganya menolak untuk bergabung dengan Indonesia. Sisanya yang menerima harus mengikuti yang menang.

Jalan memisahkan diri telah mereka ambil. Apa pun yang mereka pilih itu hak mereka. Bukankan kemerdekaan itu hak segala bangsa? Soal lebih makmur atau malah menjadi menderita, itu masalah lain.

Usai pertemuan, diadakan jumpa pers. Singkat saja. Dalam waktu pendek aku harus mengambil angle yang paling menarik untuk jadi bahan tulisan. Aku mencatat hal-hal yang penting dan merekamnya.

Aku masih sempat makan siang dengan terburu-buru. Harus menulis berita dengan tangan secepatnya, sehingga sampai di Kupang nanti tinggal mengirimnya melalui faksimili. Apalagi waktu Dili dua jam lebih cepat dari Jakarta.

Kami kembali dikawal menuju bandara. Iring-iringan mobil meluncur sampai ke tangga pesawat.

Tak ada kesempatan sedikitpun untuk berkeliling kota Dili. Di bandara, pesawat CN-235 sudah siap mengudara. Begitu sampai tangga pesawat, kami langsung naik, dan terbang menuju Kupang.

Ada sesak yang terasa saat meninggalkan Timtim. Provinsi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata itu kini ‘dikuasai’ Australia.  

Ini kunjungan yang sangat singkat. Dari mendarat sampai terbang lagi hanya sekitar tiga jam saja. Bukan kunjungan, ini lebih tepat disebut jadi tawanan.

Tips meliput jumpa pers
- Pelajari masalah yang akan disampaikan dalam jumpa pers
- Usahakan mendapatkan media kit sebagai bahan awal untuk menulis
- Jangan datang terlambat
- Pastikan bahwa yang disampaikan bukan off the record
- Catat dan rekam peryataan yang penting
- Pastikan angle yang akan diambil pada saat jumpa pers masih berlangsung
- Ajukan pertanyaan sesuai dengan angle yang sudah dipilih
- Jika ada pertanyaan eksklusif, sampaikan sendiri kepada narasumber setelah jumpa pers
- Catat nama dan jabatan narasumber dengan benar
- Minta nomor kontak narasumber.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler