Langkah Tepat Kemenlu Panggil Dubes Prancis
Indonesia harus proaktif perangi Islamofobia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengapresiasi langkah Kementerian Luar Negeri RI yang telah memanggil Duta Besar Prancis untuk Indonesia. Pemanggilan untuk menyampaikan kecaman terhadap pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang telah menyudutkan agama Islam.
"Saya mengapresiasi positif kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia yang telah memanggil Duta Besar Prancis pada Selasa (27/10) dan menyampaikan kecaman terhadap pernyataan Presiden Prancis," kata Sukamta di Jakarta, Rabu (28/10).
Dia juga berharap pemerintah Indonesia proaktif untuk berkomunikasi dengan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendorong ada pernyataan bersama oleh organisasi tersebut untuk mengecam pernyataan Macron. Sukamta meminta pemerintah melalui KBRI di negara-negara Eropa juga perlu meningkatkan pengawasan dan penjagaan kepada masyarakat Indonesia yang ada di sana.
"Karena sangat mungkin ucapan Macron itu akan meningkatkan kekerasan kelompok ultra kanan kepada kaum muslimin dan imigran," ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI mengecam keras pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron pada Jumat (23/10) yang menyudutkan agama Islam dan membiarkan penerbitan ulang karikatur Nabi Muhammad SAW oleh majalah Charlie Hebdo. Menurut dia, ucapan tersebut menunjukkan pikiran Macron kerdil dan dapat membahayakan upaya membangun dunia yang harmonis.
"Simbol agama adalah sakral bagi pemeluknya. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah sosok paling penting. Ucapan Macron jelas melukai hati ummat Islam di seluruh dunia, kita sangat marah atas penghinaan ini," katanya.
Dia menilai pernyataan Macron telah memantik Islamofobia, juga mendorong kebencian terhadap pemeluk agama. Sehingga ucapannya telah menodai prinsip-prinsip kebebasan dan nilai-nilai universal.
Menurut Sukamta, yang lebih memprihatinkan ucapan Macron adalah sangat tendesius dan dirinya menduga Macron sedang berupaya mendapat dukungan politik dari kelompok sayap kanan dan esktrem kanan di Prancis. "Beberapa analisa menyebut tujuan Macron adalah terpilih kembali pada 2022, maka dia membuat isu soal keamanan yang selama ini menjadi titik lemahnya," katanya.