PPATK: Penegak Hukum Perlu Kuasai Betul TPPU
PPATK menilai issuenya ada pada faktor SDM di masing masing aparat penegak hukum.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae menilai pentingnya penguasaan aparat penegak hukum mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal ini kata Dian, berpengaruh dengan tindak lanjut penindakan kasus tindak pidana ekonomi ke pidana pencucian uang.
"Saya kira issuenya adalah faktor SDM di masing aparat penegak hukum yang memerlukan penguasaan yang mumpuni mengenai TPPU," ujar Dian melalui pesan singkatnya, Jumat (6/11).
Ia mengatakan, keberadaan Undang-undang 8 Tahun 2010 tentang TPPU sudah mengakomodasi konsep-konsep TPPU, baik sejak dibuat aturan hingga saat ini setelah satu dekade berlalu. Namun, faktor SDM penegak hukumlah yang menentukan perlu atau tidaknya suatu kasus berujung ke pidana pencucian uang.
PPATK kata Dian, selama ini telah intens berkoordinasi dengan penegak hukum untuk melaksanakan pelatihan mengenai TPPU. Hanya saja, rotasi penegak hukum juga terjadi secara cepat, sehingga menghambat pendalaman penegak hukum terhadap TPPU.
"Padahal pemahaman terhadap TPPU ini memerlukan pendalaman dan spesialisasi," katanya.
Karena itu, PPATK juga telah menyampaikan komitmen akan mendampingi penegak hukum dalan menyediakan saksi ahli, dan upaya lainnya untuk menegakan TPPU suatu kasus. Ia menegaskan, informasi dari PPATK merupakan informasi intelejen, yang masih membutuhkan proses pembuktian lanjutan.
"Jadi bukan barang jadi, yang memerlukan proses case building yang efektif. Kami akan memastikan proses ini akan berjalan optimal," ujarnya.
Karena itu juga, saat ini PPATK juga telah meminta komitmen pimpinan lembaga penegak hukum baik kepolisian, jaksa, KPK dan lainnya mengenai penindakan TPPU. Hal ini memastikan jajaran penegak hukum dapat mengoptimalkan penindakan kasus TPPU di tindak pidana terkait ekonomi.
"Itu sekarang yang dilakukan, komitmen sudah ada dari semua pimpinan APH, kepolisian, kejaksaan, KPK, DJP, DJBC, BNN," ungkapnya.
Sebelumnya, PPATK mengeluhkan masih sedikitnya laporan analisis maupun pemeriksaan keuangan PPATK yang ditindaklanjuti oleh penegak hukum menjadi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dian mengatakan, berdasarkan data PPATK sejak 2014-2020 tidak lebih dari 40 persen rekomendasi atau pemeriksaan analisis keuangan yang ditindaklanjuti menjadi TPPU.
"Tindak lanjut oleh temen aparat penegak hukum ini masih sangat jauh, kalau data kita dari 2014-2020 itu hanya, nggak lebih dari 40 persen. Kalau rata ratanya lebih rendah lagi, tapi paling tinggi itu sekitar 36 persen, paling rendah itu dua persen," ujar Dian dalam web seminar sosialisasi PPATK secara virtual, Rabu (4/11).
"Jadi bisa dibayangkan kalau kita liat analisis pemeriksaan PPATK dan tindak lanjut penegak hukum itu masih sangat senjang," ujar Dian lagi.
Dian mengatakan, kasus TPPU di Indonesia memang cenderung belum bisa ditindaklanjuti oleh penegak hukum secara optimal. Hal itu, kata Dian, ditengarai karena paradigma berpikir penegak hukum terhadap kejahatan bermotif ekonomi masih konvensional yakni hanya berfokus pada tindak pidana asal saja.
Padahal jika dikaitkan ruang lingkup PPATK, ada 26 jenis tindak pidana ekonomi yang bisa ditindaklanjuti dengan TPPU.
"Jadi memang tindak pidana asal itu sangat banyak dan memang bisa dikatakan berdasarkan data, kita melihat, masih belum menjadi konsern aparat penegak secara umumnya," ujarnya.
Padahal kata Dian, penuntasan tindak pidana ekonomi diikuti TPPU dinilai efektif untuk memberi efek jera. Menurutnya, bahkan negara maju sekalipun belum mampu menyelesaikan persoalan terkait tindak pidana ekonomi ini tanpa diikuti dengan TPPU.
"Selama itu kesenjangan tindak pidana asal dan TPPU masih belum match, di seluruh dunia itu masih sulit untuk memberantas tindak pidana ekonomi," ungkapnya.