Soal Ucapan Macron, PPI Prancis: Tak Ada Persekusi ke Muslim
IHRAM.CO.ID, BANDUNG -- Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Prancis, Wisnu Uriawan, mengatakan sejauh ini tidak ada tindakan persekusi dari warga Prancis kepada masyarakat Muslim pasca-Presiden Emmanuel Macron melontarkan pernyataan yang memantik kecaman dari dunia Islam.
"Sejauh ini tidak ada persekusi dari warga Prancis terhadap Muslim pada umumnya, dan pada masyarakat Muslim Indonesia pada khususnya," ujar Wisnu yang tengah menempuh studi doktoralnya di INSA Lyon, Prancis, dalam Webinar Internasional bertajuk "Menepis Dilema Multikulturalism: Pengalaman Indonesia dan Prancis", Kamis (12/11). Webinar tersebut digelar Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Bandung bersama PPI Prancis.
Menurut Wisnu, mahasiswa Muslim di seluruh kota besar yang ada di Prancis tetap beraktivitas dan beribadah seperti biasa tanpa adanya gangguan. "Kecuali beberapa aktivitas keagamaan dan aktivitas apapun yang sifatnya beririsan dengan larangan-larangan berkumpul yang disebabkan oleh protokol kesehatan Covid-19 dari Pemerintah Prancis," ungkap Wisnu.
Hal itu, kata dia, tidak lepas dari status sipil bahwa masyarakat Muslim di Prancis secara umum memiliki hak yang sama dengan warga Prancis lainnya.
Pernyataan senada juga diungkapkan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Prancis Prof Warsito. Menurut dia, hingga saat ini tak ada persekusi yang dialami Muslim di Prancis.
Ia menilai sejumlah video yang beredar terkait persekusi terhadap Muslim Prancis terindikasi hoaks. "Video yang beredar tak sesuai dengan keadaan. Sekarang di sini sedang musim dingin, tetapi di video itu kondisinya bukan musim dingin," tutur Warsito.
Menurut dia, umat Islam Prancis memiliki kebebasan untuk menjalankan ibadah. "Sebelum lockdown, kita masih bisa bersembahyang di masjid," tuturnya. Namun, saat ini tempat-tempat ibadah seperti masjid dan gereja dan bahkan toko-toko ditutup sementara karena terkait protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Warsito mengungkapkan, hubungan bilateral Indonesia dan Prancis telah terjalin sejak 1950. Bahkan, lanjut dia, kedua negara telah menjadi mitra strategis mulai 2011. Karenanya, kata dia, hubungan kedua negara sangat erat. Tak heran, lanjut dia, jika wisatawan Prancis yang berwisata ke Indonesia tercatat sebagai yang terbesar kedua dari benua Eropa.
Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Bandung Dr Asep Sahid Gatara mengungkapkan, Webinar Internasional tersebut didedikasikan bagi segala ikhtiar kolektif dalam menemukan jalan untuk tetap bisa hidup berdampingan dengan budaya yang berbeda tanpa penistaan, penghinaan dan kebencian.
"Dan, hidup damai berdampingan dengan pengakuan dan penghormatan terhadap keberlimpahan budaya yang berbeda; penghargaan keabsahan berbagai ekspresi dan kontribusi budaya, pemberdayaan setiap orang untuk memperkuat potensi diri sendiri dan orang lain, dan perayaan atas persatuan melalui keragaman," ungkap Sahid saat menyampaikan pengantar diskusi.
Sahid mengungkapkan, multikulturalisme adalah bagian dari usaha-usaha manusia rasional untuk hidup berdampingan secara damai. Dialog kebudayaan ataupun dialog peradaban adalah salah satu caranya. "Dialog tersebut adalah bentuk respons yang diperlukan agar terus menggali dan mendorong saling pengertian antara masyarakat multikultural," kata dia.
Dengan dialog, kata dia, akan terbuka ruang sirkulasi dan negosiasi pengetahuan-pengetahuan sehat, sikap-sikap setara serta kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup antar dan inter masyarakat multikultural. Menurutnya, dengan negosiasi yang sehat dan setara akan menghasilkan konsensus atau kemufakatan. "Bukankah kesatuan dan kedamaian manusia tercipta secara ajeg manakala kemufakatan-kemufakatan bersama berhasil dibangun, dijalankan dan saling dipatuhi," tutur Sahid.
Dekan FISIP UIN Bandung Prof Ahmad Ali Nurdin mengapresiasi inisiatif Prodi Ilmu Politik yang menggelar Webinar Internasional tersebut. Selain menghadirkan narasumber dari Prancis, webinar tersebut juga menampilkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tb Ace Hasan Syadzily serta Ketua Laksepdam PWNU Jawa Barat Dr Asep Salahudin. Webinar yang diikuti ratusan peserta itu dipandu oleh Wakil Redaktur Pelaksana Republika Media Group Heri Ruslan.
BACA JUGA: Selama Dijajah Armenia, di Kota Susha Tak Ada Adzan