Jejak Napoleon Bonaparte di Kafe Kairo
IHRAM.CO.ID, KAIRO – Sejarah penyajian teh di kafe-kafe Kairo tak lepas dari latar belakang sejarah yang menyertainya yakni sejak Pemimpin Prancis Napoleon Bonaparte menginvasi Mesir. Jejak sejarah dan budaya pun tertinggal di Negeri Seribu Menara tersebut, salah satunya dari kafe-kafe yang menyajikan teh.
Beberapa saat sebelum matahari terbenam, pelanggan mulai menuju gang kecil di dekat Pasar Khan el-Khalili yang merupakan salah satu perhentian turis paling populer di Mesir. Kafe El-Fishawy pertama kali dibuka pada 1797, yakni satu tahun sebelum Napoleon Bonaparte menginvasi Mesir. Akram el-Fishawy (60 tahun) adalah generasi ketujuh dari keluarganya yang mengelola kedai kopi, seperti yang dilakukannya siang dan malam selama empat dekade terakhir.
“Kalau saya tidak datang satu hari, saya merasa ada sesuatu yang hilang,” katanya dilansir di Middle East Eye, Jumat (13/11).
Menurutnya, yang membedakan kedai kopi tersebut adalah keasliannya yang bertahan selama bertahun-tahun. Pemilik pertama kafe sekarang hanya dikenal sebagai El-Fishawy. Dia mulai dengan menyajikan kopi Turki kepada teman-temannya setelah matahari terbenam
Selama awal abad ke-20, kafe tersebut menurutnya terkenal karena para intelektual dan penulisnya. Terutama selama Ramadhan, di antaranya adalah Peraih Nobel abad ke-20 Naguib Mahfouz. Raja Farouk, raja terakhir Mesir, juga salah satu pengunjung populer yang sering berkunjung.
“Mahfouz suka minum teh hijau sambil menulis di dalam aula yang kemudian kami beri nama menurut namanya. Saya berasumsi dia menulis sebagian besar trilogi terkenalnya di dalam kafe,” kata Fishawy.
Adapun almarhum Peraih Nobel Ahmed Zewail juga menjadi pengunjung tetap setiap kali dia mengunjungi Mesir. Menurutnya, penulis itu juga suka meminum teh hijau. Fishawy menambahkan, pihaknya sendiri menyaksikan permainan al-Qafya (sajak) antara dua kelompok selama tahun 1950-an, yang akan menjawab satu sama lain, tergantung kecerdasan verbal mereka.
“Itu berlangsung sepanjang malam. Naguib Mahfouz selalu tak terkalahkan,” kenangnya.
Kafe itu sendiri juga telah berubah dan dulu menjadi empat kali lebih besar. Tetapi pada tahun 1986, otoritas Kairo memperluas lingkungan di sekitar Lapangan Hussein dan menelan sebagian besar ruangnya.
Atas kebijakan itu, pihaknya menjabarkan bahwa kakeknya, Fahmy el-Fishawy, sangat terpukul dengan keputusan itu. Dia menceritakan bahwa kakeknya berusaha dengan segala cara untuk mengubah pikiran mereka bahkan dengan menawarkan kompensasi finansial tetapi usahanya tidak berhasil.
Namun El-Fishawy mempertahankan suasananya. Furnitur Arab buatan tangan dipadukan dengan panel mashrabiya gelap dan dinding kuning oker. Lampu gantung tembaga tua tergantung di langit-langit. Di mana-mana ada cermin, menciptakan kesan ruang.
“Kakek saya, Fahmy el-Fishawy, meminta para pekerja memasang cermin di seluruh tempat agar bisa memantau di dalam dan sekitar area,” kata Fishawy.
Dia menjelaskan bahwa spesialisasi rumah itu adalah shai barad atau teh rebus, yang dipanaskan di baskom pasir. “Teh yang direbus di pasir rasanya berbeda, mungkin karena suhu pasir berbeda dengan suhu di oven,” kata Samir Abu Douma, yang bertanggung jawab atas proses tersebut.
Kafe ini pun buka selama 24 jam per hari selama satu pekan penuh. Ini mencerminkan bagaimana kehidupan malam Kairo yang diibaratkan lebih hidup setelah matahari terbenam, terutama selama musim panas dan juga Ramadhan.
Minuman juga terjangkau bagi wisatawan, dengan teh seharga 20 pound Mesir atau sekitar 1,2 dolar AS. Adapun peminat shisha sedikit lebih banyak tergantung pada rasa dan jenis tembakau.
"Saya merasakan masa lalu yang indah yang tidak saya miliki kesempatan untuk hidup ketika saya duduk di sana,” kata salah satu pengunjung, Ahmad Mahmoud.