Donald Trump Dicegah Serang Iran di Akhir Masa Jabatan
IHRAM.CO.ID, WASHINGTON — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dilaporkan telah mengadakan pertemuan untuk membahas opsi mengenai serangan terhadap situs nuklir Iran dalam pekan-pekan terakhirnya menduduki jabatan sebagai pemimpin negara adidaya tersebut. Namun, dia telah diperingatkan serangan itu dapat menyebabkan konflik yang lebih luas.
Dilansir Times of Israel, langkah yang direncanakan Trump dibahas dalam pertemuan dengan para pejabat tinggi AS pada Kamis (12/11) lalu. Satu hari sebelumnya, terdapat laporan dari pengawas nuklir PBB bahwa Iran telah menimbun lebih banyak uranium yang diperkaya, jauh dibandingkan dengan jumlah yang diizinkan dalam Kesepakatan Nuklir 2015.
Di antara pejabat tinggi AS yang hadir adalah Wakil Presiden AS Mike Pence, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, Pelaksana Tugas Menteri Pertahanan Christopher C. Miller, dan Jenderal Mark A. Milley, ketua dari Kepala Staf Gabungan Militer. Trump dilaporkan bertanya kepada mereka bagaimana harus menanggapi laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan apa langkah yang perlu diambil.
Menurut laporkan New York Times, fokus serangan hampir dipastikan adalah pusat nuklir Natanz yang dijaga ketat. Pompeo dan Miley disebut memperingatkan bahwa serangan besar-besaran, baik dengan rudal ataupun melalui dunia maya, dapat dengan mudah meningkat menjadi konflik regional skala besar.
Laporan itu mengatakan para pejabat AS meninggalkan pertemuan dengan keyakinan bahwa Trump telah melakukan serangan rudal. Meski demikian, ia masih bisa mengambil tanggapan yang lebih terukur terhadap Iran maupun sekutu negara Timur Tengah itu.
Serangan yang diyakini diperintahkan oleh Trump dan paling menonjol terhadap Iran adalah saat AS membuat jenderal Iran Qassem Soleimani meninggal dalam serangan pesawat tak berawak dari AS pada 3 Januari di bandara Baghdad, Irak. Kementerian Pertahanan AS telah memiliki berbagai pilihan dalam serangan terhadap Iran, baik melalui militer, dunia maya, maupun rencana kombinasi atau keduanya.
Bahkan, beberapa rencana dilaporkan melibatkan tindakan langsung oleh Israel. Negara itu telah diyakini berada di balik serangan terhadap pengembangan sentrifugal canggih dan pabrik perakitan di Natanz awal tahun ini. Itu juga telah disalahkan, bersama dengan AS, atas virus Stuxnet yang menyabotase sentrifugal pengayaan Iran.
Laporan tersebut menyoroti kekhawatiran bahwa Trump dapat berusaha melakukan tindakan dramatis dalam beberapa minggu terakhir masa jabatannya sebagai upaya untuk ‘mengikat tangan’ presiden terpilih AS Joe Biden dalam masalah-masalah yang menjadi kekhawatiran negara itu seperti Iran.
Duta Besar Israel untuk AS Ron Dermer telah memperingatkan bahwa akan menjadi kesalahan bagi pemerintah Negeri Paman Sam yang akan datang untuk kembali dalam kesepakatan nuklir Iran, seperti yang dijanjikan Biden selama kampanye.
“Saya pikir itu akan menjadi kesalahan dan semoga ia (Biden) akan melihat Timur Tengah sebagaimana adanya, termasuk melihat manfaat dari proses normalisasi. Saya pikir untuk tidak kembali ke kesepakatan yang sama,” ujar Dermer dalam pembicaraan dengan di Washington yang diselenggarakan oleh Economic Club pada Senin (16/11).
Dermer menegaskan bahwa Israel dan negara-negara Arab menentang perjanjian multilateral 2015 tentang nuklir Iran yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Ia menyebut bahwa pandangan mereka seharusnya dipertimbangkan oleh Pemerintah AS yang dipimpin oleh mantan presiden Barack Obama pada saat itu.
Kesepakatan nuklir Iran ditandatangani oleh AS, Jerman, Prancis, Inggris, China, dan Rusia. Namun, Trump menarik negaran dari perjanjian, meski tetap mengatakan agar Iran mematuhi batasan yang ditetapkan.
IAEA melaporkan dalam dokumen rahasia yang dikirimkan ke negara-negara anggota bahwa Iran pada 2 November lalu memiliki persediaan 2.442,9 kilogram (5385,7 pon) uranium yang diperkaya. Jumlah itu meningkat dari 2.105,4 kilogram (4.641,6 pon) dilaporkan pada 25 Agustus lalu.