Tarik Ulur Kebijakan Penanganan Covid-19
Covid-19 membuat kuartal II pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) memaksa berbagai negara di dunia menerapkan kebijakan yang responsif, tepat sasaran, dan tentu saja efektif, yang pilihannya kemudian antara social distancing atau lockdown. Baik kebijakan social distancing maupun lockdown yang lebih ekstrim sama-sama menyebabkan mobilitas individu terbatas, penutupan sementara tempat-tempat yang berpotensi menimbulkan keramaian, hingga dihentikan dan dilarangnya berbagai aktivitas yang memicu kerumunan massa.
Keterbatasan aktivitas publik dalam penanganan Covid-19 ini pasti menyebabkan terganggunya pertumbuhan ekonomi, yang juga dialami Indonesia. Penyebaran Covid-19 menyebabkan kuartal II pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen.
Pertumbuhan ekonomi negatif ini berkonsekuensi pada pemutusan hubungan kerja di berbagai wilayahm hingga meningkatkan angka pengangguran. Dampak yang ditimbulkan dari tepat atau tidaknya kebijakan penanganan pandemi Covid-19 terus menuai perdebatan dan memicu kritik publik dari berbagai kalangan.
Antara Kesehatan dan Stabilitas Ekonomi
Kritik publik terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia dalam penanganan Pandemi Covid-19 sebetulnya masih terus berfokus kepada arah prioritas sektor kesehatan ataupun sektor ekonomi. Desakan evaluasi kebijakan dari berbagai kalangan ini kiranya berangkat dari dua urgensi, pertama memprioritaskan kesehatan tanpa mengindahkan upaya menjaga stabilitas ekonomi, serta kedua meredam kepentingan atau agenda politik penguasa demi mensinergiskan kebijakan Pusat dengan Daerah.
Jika ditelisik lebih jauh, respon yang diambil oleh Pemerintah Pusat dalam penanganan pandemi cenderung mengacu pada upaya menopang stabilitas ekonomi. Dari rincian anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah misalnya, anggaran kesehatan justru lebih kecil dibanding anggaran lain.
Total anggaran yang dialokasikan untuk kesehatan adalah 87,55 triliun dari total anggaran penanganan covid-19 sebesar Rp. 695,2 triliun. Anggaran ini kemudian direalokasi untuk pemulihan ekonomi dimana anggaran untuk kesehatan berkurang menjadi Rp. 72,73 triliun.
Anggaran ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi ke hal lain terutama untuk alokasi anggaran ke pembiayaan koorporasi sebesar 537,57 triliun. Sepertinya, upaya untuk menopang pertumbuhan ekonomi melalui alokasi anggaran keuangan menjadi tujuan utama dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
Di samping alokasi anggaran untuk pemulihan keuangan, Pemerintah memilih tidak melakukan lockdown karena akan meniadakan aktivitas ekonomi. Karena itu, Pemerintah memutuskan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Perlu diingat, ketika melakukan lockdown, pemerintah harus menjamin kebutuhan seluruh masyarakat sebagai konsekuensi. Karenanya, Pemerintah tampak belum mampu menjamin kebutuhan seluruh masyarakat sehingga memilih PSBB yang bersifat lokal dan pemberian bantuan sosial pun hanya di tujukan ke masyarakat yang dianggap tidak mampu secara ekonomi.
Strategi dan kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia selama ini memang terkesan hanya fokus pada stimulus perekonomian. Terbukti kemudian, dengan diluncurkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19, yang kemudian disahkan menjadi Undang Undang No. 2 Tahun 2020.
Undang-Undang ini menuai kontroversi publik hingga mendorong gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Selain pro dan kontra atas muatan pada pasal-pasal dalam Undang Undang yang dianggap tidak urgent tersebut, hingga membuka celah korupsi, fokus lain juga menelisik kepada prioritas kebijakan Pemerintah kepada stabilitas ekonomi ketimbang kesehatan warga negara dalam penanganan covid-19.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Julian Aldrin Pasha baru-baru ini dalam Focus Group Discussion ILUNI-UI yang bertajuk 'Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19' mengatakan, “Pemerintah perlu menentukan prioritas dan assessment antara pilihan ekonomi atau kesehatan. Dari dua opsi yang ada, data membuktikan penerapan social distancing dapat menekan kondisi penularan, namun pasti berdampak pada ekonomi.”
Agenda Politik dan Tarik Ulur Kebijakan
Prioritas antara ekonomi dan kesehatan selalu menjadi isu terdepan dalam kaitannya dengan kebijakan Pemerintah Indonesia merespon Pandemi Covid-19. Untuk lebih jauh menganalisa hal ini, regulasi perlu ditilik sedemikan rupa, demi memastikan keberpihakan pada kebutuhan masyarakat atau sebaliknya, segelintir penguasa negara.
Ekonom Faisal Basri menyebut Undang Undang No. 2 Tahun 2020 -atau yang sebelumnya masih Perppu- yang dikeluarkan untuk penanganan pandemi, justru lebih berprioritas kepada sektor keuangan bukan kepada sektor-sektor ekonomi yang diperlukan dalam penanganan Covid-19 seperti mengatur produksi alat-alat kesehatan misalnya. Menurut Faisal Basri, jika fokus dikeluarkannya Perppu tersebut adalah dalam rangka penanganan Pandemi, seharusnya sektor ekonomi diprioritaskan kepada usaha Kesehatan.
Meminjam pernyataan Faisal Basri "Perppu yang keluar adalah Perppu tentang sektor keuangan, sementara penanganan pandeminya tidak jelas.” Pertanyaannya kemudian, apakah Undang Undang tersebut dikeluarkan sejatinya untuk penanganan pandemi atau ada kepentingan-kepentingan lain sebagaimana kritik para penggugat ke MK.
Kebijakan Pemerintah yang memprioritaskan bidang ekonomi dalam bentuk stimulus keuangan kepada sektor-sektor pelaku usaha, meminjam perspektif ekonomi-politik Levine dan Caporaso (1996) menunjukan agenda politik yang berbeda dengan orientasi pemerintahan-pemerintahan lain yang lebih kepada pengutamaan kesehatan melalui alokasi anggaran yang lebih besar. Pendekatan terpusat kepada negara atau State -centered paradigm dalam Caporaso (1996) menekankan otonomi negara, di mana negara bebas dari pengaruh eksternal yang berkembang di masyarakat. Namun, “bebas” ini memiliki berbagai pengertian yang satu diantaranya adalah bebasnya tujuan para pemimpin negara dari intervensi publik kemudian menjadikan kepentingan pemimpin negara sebagai kebijakan publik.
Dalam proses singkat dikeluarkannya Undang Undang No. 2 tahun 2020 tersebut, dapat dilihat bahwa negara menunjukan kekebalannya akan kritik dan kontra Publik. Hal tersebut kemudian juga menimbulkan pertanyaan, apakah kekebalan atas kritik publik justru menjadikan kepentingan (sekelompok) pemimpin negara sebagai kebijakan publik?
Sebagai penutup, mengutip Levine dan Caporaso (1996), peran negara dalam mengurusi rakyat haruslah dilihat dari kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya. Sayangnya, langkah kebijakan yang diambil justru cenderung melakukan tarik-ulur antara penanganan covid-19 dengan stabilitas ekonomi. Dalam proses penanganan pandemi di Indonesia, sebetulnya kuat dorongan publik untuk memberlakukan lockdown selama Negara terus memenuhi kebutuhan masyarakat, dan Pemerintah tidak mampu untuk ini.
Buruknya ketidakmampuan negara untuk mandiri dari berbagai kepentingan politik penguasa justru terekspresikan secara kentara dalam polemik kebijakan antara Pusat dengan Daerah. Misalnya, pada kebijakan apakah akan sepenuhnya menutup aktivitas ekonomi dengan mensuplai kebutuhan rakyat atau melakukan kebijakan pembatasan terkait penanganan Covid-19, termasuk ketegasan dalam memberi sanksi dan larangan-larangan publik selama kondisi pandemi.
PENGIRIM/ PENULIS: Nofia Fitri, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia, Sekretaris Program Aliansi Kebangsaan