Sidebar

Dewan Muslim Inggris Adakan Seminar untuk Atasi Islamofobia

Friday, 20 Nov 2020 16:17 WIB
Ilustrasi Islamofobia

IHRAM.CO.ID, LONDON -- Dewan Muslim Inggris mengadakan seminar online untuk memahami Islamofobia, radikalisasi, dan keislaman. Program tersebut mempertemukan lima kontributor dari Inggris dan AS untuk berbagi wawasan mengenai permasalahan tersebut.

Menurut Versi Miqdaad dari MCB, bahwa 31 persen anak muda di Inggris percaya bahwa Muslim dianggap akan mengambil alih Inggris. Tingkat ketakutan yang tidak berdasar ini adalah bagian dari narasi yang lebih luas, yang dirancang untuk memecah belah orang dan komunitas di seluruh negeri.

Salah satu rintangan terbesar untuk menangani Islamofobia adalah perbedaan  definisi dan konteks Islamofobia yang berbeda-beda di setiap organisasi dan negara. Misalnya di Inggris, di Prancis dan di Amerika Serikat (AS).

Peneliti Senior di Sekolah Ilmu Sosial di Universitas Cardiff, Inggris, Steve Garner mengatakan, bahwa tanpa definisi, sulit untuk membahasnya lebih lanjut. Sedangkan menurut Profesor Saher Selod, akan menghabiskan terlalu banyak waktu jika masih memperdebatkan terminologi tersebut.

Dr. Maryyum Mehmood mengatakan, bahwa individu bisa menjadi sasaran dua kali untuk islamofobia dan rasisme. Pertama, karena terlihat berkulit hitam dan kedua karena menjadi Muslim. Menurut Maryyum Islamofobia dan Anti-Semitisme adalah dua bentuk pelecehan yang berbeda, tetapi berasal dari akar masalah yang sama. Artinya jika ingin menangani yang satu, maka juga harus menangani yang lain, karena asalnya sama dan membutuhkan solusi yang serupa.

"Jika tujuan kita adalah keadilan sosial, maka alih-alih menempatkan perbedaan, kita justru harus bekerja sama,” kata dia dilansir dari About Islam, Jumat (20/11).

Munurut Saher, di Amerika Serikat, identitas Muslim jauh lebih cair dan bahwa diskriminasi sudah ada sebelum tragedi 911. Setelah peristiwa 911, terjadi pergeseran, di mana identitas Muslim sering kali dikaitkan dengan terorisme.

Menurut Steve, di dalam agama Islam sendiri ada tiga kategori. Pertama, Islam sebagai agama diartikan sebagai sekumpulan gagasan yang dinamis. Kedua, ada Islam politik, yang pada titik ekstrimnya, mencakup kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda, dan ketiga, orang Muslim yang berasal dari latar belakang dan budaya yang berbeda.

Steve berpendapat bahwa tujuan dari bentuk Islamofobia ini bukanlah untuk mengakui keberadaan ketiga kategori ini. Sebaliknya, dengan menggabungkan ketiga kategori menjadi satu, sehingga menjadikan siapa pun yang terkait dengan Islam sebagai target.

"Cara kerja ide rasis, menghubungkan ketiga elemen bersama," ucap Stave.

Di Prancis, tanggapan terhadap majalah Charlie Hebdo menghasilkan reaksi budaya dan politik. Di China, bahkan lebih ekstrim lagi, yakni otoritas China mendirikan pusat pembelajaran agama dengan klaim untuk menciptakan muslim China yang lebih bersahabat. Begitu juga di Prancis, ada upaya, meski tidak agresif, untuk menciptakan muslim yang ramah Prancis.

Sebanyak 5 juta muslim tinggal di Prancis. Umat Muslim Prancis menyumbang 7 persen dari populasi Prancis. Ini sangat jelas bahwa aksi pembunuhan yang dilakukan segelintir orang tidak mewakili komunitas Muslim Prancis yang lebih luas.

Tapi ini adalah masalah global bersama yang bersumber dari ego yang ditemukan di banyak komunitas di seluruh dunia. Yang harus dilakukan adalah, kita harus mengakui bahwa semua bentuk ketidakadilan adalah sama, baik itu terhadap seorang Muslim, Yahudi, Hindu, Sikh, Kristen, bahkan mereka yang tidak beriman pun akan menantang semua bentuk ketidakadilan.

Salah satu nama Tuhan yang kami ajarkan dalam Islam adalah Al-Hakam, artinya Hakim yang Tidak Memihak. Karena Tuhan tidak membeda-bedakan, merupakan tanggung jawab kita sebagai manusia untuk tidak membeda-bedakan.


Berita terkait

Berita Lainnya