Revisi UU Polri: Bentuk Evaluasi Kinerja Polisi

Masyarakat sipil harus peka memberikan kritik terhadap kinerja kepolisian.

Republika/Raisan Al Farisi
Anggota Kepolisian sedang bertugas. ilustrasi
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sistem negara demokratis, kepolisian merupakan lembaga yang memiliki peran penting. Kepolisian mengemban tugas sesuai dengan aturan hukum dan undang-undang. Hal ini dilakukan agar kinerja polisi tidak didasarkan kehendak penguasa. Kemudian, kepolisian juga diberikan wewenang untuk menggunakan kekerasan guna memastikan supremasi hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

Pada sistem demokrasi, polisi juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Karena itu, setiap tindakan kepolisian harus profesional dan akuntabel serta terdapat pengawasan. Namun, implementasi di Indonesia menunjukkan adanya permasalahan kerja-kerja kepolisian.

Pertama, penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Polri sejatinya justru menunjukkan arogansi dan tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mengutip laporan Kontras selama setahun ini, tindak kekerasan dilakukan pihak kepolisian kepada mereka yang berunjuk rasa dan menyampaikan pendapat.

Merujuk pada UUD 45, penyampain pendapat adalah hak semua orang dan harus mendapat perlindungan. Akan tetapi, pada implementasinya sering kali penanganan aksi unjuk rasa justru mendapat perlakuan secara represif dari polisi.

Persoalan kekerasan ini bukan dilakukan oleh satu atau dua orang oknum polisi saja, akan tetapi memiliki pola yang terstruktur dan sistematis. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan cita-cita dari Presiden Jokowi yang berkomitmen memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat dan mengutuk keras tindak kekerasan aparat di 2012. Di sisi lain, juga terdapat masalah ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian.

Kedua, pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aturan perundang-undangan tidak diselesaikan secara tuntas. Dampaknya adalah ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian. Dalam hal ini, terlihat dari watak anggota kepolisian yang justru terkesan brutal pada penanganan perkara. Hal ini akibat dari tidak adanya pengawasan terhadap kinerja kepolisian.

Pengawasan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat sipil berupa citizen journalism tidak pernah ada tanggapan terkait dengan penantaan kelembagaan di lingkungan Polri. Pelanggaran demi pelanggaran menunjukkan pemahaman Polri terhadap fungsinya sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat masih rendah. Padahal pada negara demokratis sudah seharusnya kepolisian mewujudkan kepercayaan publik melalui pelaksanaan tugas yang sesuai peraturan dan masukan dari masyarakat.

Ketiga, pada konteks tertentu kinerja kepolisian banyak mendapatkan kritikan dari masyarakat. Salah satunya adalah keberadaan perwira kepolisian dalam jabatan publik seperti era Presiden Soeharto.

Setidaknya di tahun 2020 terdapat tiga perwira tinggi Poliri yang mengisi jabatan di luar kepolisian, yaitu: Komjen Andap Budhi Revianto sebagai Inspektur Jenderal Kemenkumham; Irjen Reinhard Silitonga sebagai Dirjen Pemasyarakatan; Komjen Antam Novambar sebagai Plt. Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini menunjukkan pengisian jabatan publik oleh anggota Polri yang masih aktif sebagai ketidaksesuaian terhadap cita-cita reformasi. Selain itu, juga membuat adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang akibat rangkap jabatan.

Permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan tersebut sejatinya harus dikembalikan dalam koridor peraturan perundang-undangan. Sesuai dari fungsi kepolisian yang tunduk terhadap undang-undang. Dalam hal ini, diperlukan adanya revisi UU. Polri No.2 2002 sebagai jawaban atas permasalahan kepolisian.

UU Polri sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan di masa kini serta juga adanya kritik terhadap kedudukan Polri pada sistem pemerintahan. Salah satunya yang tertera pada Pasal 8 yang menyatakan kedudukan Polri langsung berada di bawah Presiden.

Kedudukan tersebut memiliki implikasi secara politik bahwa Polri memiliki kekuasaan yang sangat besar dan juga tidak adanya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh instansi lain. Selain itu dalam konteks politik anggaran, Polri sangat rawan menyalahgunakan anggaran akibat tidak adanya pengawasan. Maka, diperlukan adanya revisi mengenai kedudukan Polri agar tidak mencipatkan kekuasaan yang besar dan penyalahgunaan wewenang.


Revisi UU Polri juga menegaskan mengenai pentingnya pemahaman tentang paradigma kepolisian yang demokratis. Tindakan kepolisian perlu mengacu terhadap empat norma yakni: memberi protitas pada pelayanan masyarakat; segala tindakan dan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum; menghargai dan melindungi HAM, terutama untuk jenis kegiatan-kegiatan politik seperti kebebasan berpendapat dan unjuk rasa; serta transparan dan akuntabel.

Paradigma ini dapat dibentuk pada pola dan kurikulum anggota kepolisian yang menekankan Polri sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, bukan kepanjangan alat penguasa. Di samping itu perlu adanya sikap mawas diri terhadap kritik dan masukan dari masyarakat terhadap kinerja kepolisian, sebab terdapat kecenderungan dari kepolisian yang tidak mengakui kesalahan dan anti terhadap kritik.

Selain itu, adanya revisi UU Polri juga harus memuat tentang kewenangan diskresi. Selama ini menurut penulis, tindakan kepolisian dalam melakukan kekerasan selalu mengatasnamakan diskresi atas dasar kepentingan umum.

Pada praktiknya tindakan ini justru menciptakan banyaknya pelanggaran HAM dalam penanganan beberapa kasus, misalnya penanganan keramaian. Atas kewenangan diskresi inilah kepolisian dapat mengintepretasikan sendiri tindakannya dan membenarkan setiap aksi yang dilakukan. Karena itu, diperlukan adanya aturan yang jelas tentang diskresi dan keterlibatan masyarakat dalam bentuk pengawasan kinerja kepolisian.

Pada penutup tulisan ini, menegaskan sebelum adanya revisi UU Polri dijalankan, perlunya peran masyarakat sipil dalam hal pengawasan kinerja kepolisian. Masyarakat sipil harus memiliki kepekaan untuk terus memberikan kritik terhadap kinerja kepolisian.

Di samping itu, kepolisian juga harus memahami bahwa kepercayaan publik tidak akan meningkat selama tidak adanya perbaikan kinerja. Sebab selama ini tindakan kepolisian sering kali menimbulkan kesan negatif terhadap masyarakat, hanya ada janji-janji perbaikan akan tetapi tidak pernah ada realisasi.

PENULIS/ PENGIRIM: Mohammad Darry, S.IP., M.IP, Kader Satuan Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila Jawa Timur dan co-founder lembaga riset BanggaLokal

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler