CIPS: Harga Pangan Berpotensi Mengalami Kenaikan Tahun 2021

Akhir April lalu, beberapa provinsi mengalami defisit beberapa komoditas pangan.

Prayogi/Republika
Pedagang sayur mayur menanti pembeli di pasar (ilustrasi). Harga komoditas pangan berpotensi mengalami kenaikan pada 2021.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, harga komoditas pangan berpotensi mengalami kenaikan pada 2021. Selain dikarenakan oleh pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir, pemerintah mencatat bahwa di akhir April tahun ini, beberapa provinsi mengalami defisit beberapa komoditas pangan, seperti beras, jagung, gula, cabai, bawang putih, bawah merah, dan telur.

Baca Juga


Penyebab defisit itu, kata dia, dikarenakan provinsi-provinsi tersebut bukan merupakan provinsi penghasil utama dari komoditas-komoditas tadi. Ditambah pula dengan proses distribusi yang sempat terhalang akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan berbagai kebijakan pembatasan lainnya.

Ia mengatakan, distribusi dan kesediaan sebagian besar pangan pokok di Indonesia memang sudah lebih stabil daripada sebelumnya. Akan tetapi, beberapa komoditas yang sebagian besar sumber ketersediaan berasal dari impor, seperti bawang putih, gula, daging sapi dan kedelai, diprediksi juga akan mengalami fluktuasi harga.

Kesulitan dalam mengamankan impor daging sapi dapat meningkatkan kemungkinan kenaikan harga domestik, apalagi mengingat perayaan Idul Fitri pada tahun 2021 mendatang juga akan berlangsung di awal tahun.

Jumlah permintaan yang lebih rendah memang dapat meredam kenaikan harga. Akan tetapi, menjelang Bulan Ramadan dan Idul Fitri, jumlah permintaan sudah dipastikan akan melebihi permintaan di hari-hari biasa. Untuk itu, ketersediaan stok yang memadai sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan harga pangan, terutama komoditas yang tergolong pokok dan dan sumber ketersediaannya sebagian besar berasal dari impor.

“Rentetan peristiwa yang menandai fluktuasi harga komoditas pangan, terutama yang termasuk pada komoditas pokok dan ketersediaannya dipenuhi lewat impor, idealnya sudah bisa dijadikan parameter dalam mengambil kebijakan. Tentu saja selain fluktuasi harga, data produksi pangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi sangat penting dalam menentukan kebijakan. Proses panjang importasi juga perlu diingat sehingga timing masuknya komoditas pangan impor tidak merugikan petani,” katanya dalam Siaran Pers CIPS, dikutip Republika.co.id, Senin (23/11).

Laporan World Food Programme mencatat bahwa harga pangan dunia turun sebesar 4,3 persen di antara bulan Februari dan Maret 2020 akibat adanya penurunan permintaan karena pandemi Covid-19.

Akan tetapi, harga beras justru tercatat mengalami kenaikan dikarenakan adanya stockpiling behavior atau perilaku menimbun yang dilakukan oleh masing-masing BUMN pangan negara-negara dunia dan karena adanya penutupan ekspor untuk memenuhi produksi domestik terlebih dahulu.

Tindakan inilah, menurut Galuh, yang kemudian menyebabkan adanya ketidakseimbangan supply dan demand. Negara-negara berusaha mengamankan ketersediaan pangan dalam negeri dengan tidak melakukan ekspor dan tertutup pada impor. Walaupun saat ini sudah banyak negara yang kembali membuka impor, hal ini patut untuk diwaspadai di tahun mendatang.

Sempat turun, Food and Agriculture Organization (FAO) kemudian mencatat bahwa harga komoditas pangan di tingkat internasional mulai kembali mengalami kenaikan sejak Mei hingga November 2020. Data The FAO Food Price Index (FFPI) di bulan Oktober 2020 berada di angka rata-rata 100,9 atau tertinggi sejak Januari 2020 dan mengalami kenaikan sebesar 3,1 persen dari bulan September dan 6 persen lebih tinggi dari bulan Oktober tahun 2019 lalu. Kenaikan banyak disumbang oleh komoditas gula, sereal, dan minyak nabati.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler