Econusa Gaet Diplomat Muda untuk Pelajari Lingkungan Hidup
Econusa ajak kaum muda lebih peduli lingkungan hidup
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semakin hari, kondisi lingkungan di Indonesia semakin memprihatinkan. Meskipun beberapa kegiatan terkait kampanye jaga lingkungan sudah digaungkan, tampaknya itu masih belum cukup. Kondisi memprihatinkan ini lah yang sudah harus menimbulkan rasa galau di hati anak muda.
School of Eco Diplomacy (SED) bersama EcoNusa, menggaet para diplomat muda untuk mempelajari soal lingkungan hidup selama dua bulan, serta sudah dipastikan mereka akan mulai galau dan gelisah. “Misalnya sudah dua bulan pelatihan malah lebih kalem, berarti kami gagal,” kata Program Manager Ocean Yayasan EcoNusa, Wiro Wirandi, dalam inagurasi virtual diplomat muda SED.
Apalagi untuk tahun ini pertama kalinya program SED menggabungkan fokus ke laut dan hutan, dimana sembilan anak muda terpilih akan mempresentasikan ide mereka. Sebagai diplomat muda angkatan pertama, Wiro ingin mereka menginspirasi anak muda lain dan mengajak untuk galau bersama soal lingkungan hidup, jangan hanya soal percintaan saja.
Dan mulailah untuk galau dan gelisah dalam melihat lingkungan kita khususnya di Indonesia. Galaunya tuh ‘kok begini sih’, ‘oh jadi karena begini’, ‘solusinya begini’. Jadi ketika kawan-kawan melihat rumah banjir, berpikirnya langsung gimana biar nggak banjir lagi. Atau melihat kebakaran hutan, bagaimana supaya nggak kebakaran lagi,” papar Wiro.
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, hutan, laut, budaya, manusianya, hingga kearifan lokalnya, sehingga itu semua bisa dimanfaatkan untuk mengurangi tekanan yang dialami Bumi.
Di Indonesia, khususnya Indonesia Timur, kenapa lebih banyak diplomat muda dari Indonesia Timur? Karena benteng terakhir keanekaragaman hayati Indonesia itu ada di Indonesia Timur. Tapi di Indonesia Barat pun tetap harus dijaga karena banyak hal yang mempengaruhi perubahan lingkungan hidup.
Salah satu dari diplomat muda terpilih adalah Diplomat Muda Lingkungan Langsa, Aceh Utara, Maimun. Ia sempat menjadi Koordinator Mahasiswa Peduli Air pada 2018, lalu mengikuti CLT 2019 yang berfokus pada orang utan di Gunung Leuseur. Dalam SED ini, ia ingin melakukan reboisasi hutan mangrove di Desa Sungai Lueng, Langsa Timur.
Permasalahan hutan mangrove di daerah tersebut adalah penebangan liar yang semakin besar dan ada upaya pembukaan tambak baru, dua hal itu merupakan masalah terbesar. Setelah penebangan liar, masalah lain pun muncul yakni adanya upaya pembukaan pemukiman.
“Kami inisiasi kegiatan ini di Desa Sungai Lueng bermitra dengan kawan-kawan Bale Juroeng. Targetnya adalah masyarakat nelayan, kita lakukan sosialisasi dan reboisasi pada lahan 1 hektar dengan target 3.000 benih mangrove. Kami juga lakukan upaya padat,” ujar Maimun dalam kesempatan yang sama.
Ia ingin aksi yang ia rencanakan itu, bisa memberikan dampak pemulihan ekosistem atau menambah jumlah hutan mangrove. Ia juga ingin membentuk kelompok pelindung hutan mangrove di Desa Sungai Lueng, sehingga hutan akan lestari sepanjang masa.