Nikah Beda Agama Picu Perdebatan Ulama Al-Azhar Mesir
Polemik nikah beda agama terjadi di kalangan ulama Al-Azhar
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Seorang sarjana Muslim telah memicu perdebatan besar dengan mendukung pernikahan antara wanita Muslim dan pria non-Muslim. Sarjana tersebut ialah Amna Nosier, seorang profesor filsafat Islam di Universitas Al-Azhar dan anggota Parlemen Mesir.
Nosier mengatakan, tidak ada teks dalam Alquran yang melarang pernikahan wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Saat berbicara kepada Channel One TV yang dikelola pemerintah, dia menjelaskan, Alquran hanya melarang pernikahan wanita Muslim dengan "penyembah berhala".
Dalam kesempatan lain, saat berbicara di al-Hadath al-Youm TV 17 November lalu, Nosier menambahkan, pertanyaannya kemudian yakni jika laki-laki non Muslim yang menikah dengan wanita Muslim itu adalah Kristen atau Yahudi, yang oleh Islam disebut "ahli kitab". Dia pun meminta para sarjana agama untuk mempelajari dan mempertimbangkan kembali masalah tersebut.
Selain itu, Nosier juga menyinggung soal pria Muslim yang menikah dengan wanita non-Muslim. Dia menuturkan, Islam mengizinkan pria Muslim untuk menikahi wanita non-Muslim, asalkan mereka tidak menghalangi istri untuk menjalankan keyakinannya.
Ada banyak contoh pria Muslim termasuk selebriti yang menikahi wanita non-Muslim. Mantan menteri wakaf Mesir, Mahmud Hamdi Zakzouk, yang meninggal pada April lalu pun menikah dengan seorang wanita Kristen Jerman.
Ucapan Nosier disambut dengan sejumlah fatwa dari lembaga keagamaan negara dan ulama lain. Al-Azhar, kursi tertinggi pembelajaran Islam Sunni, mengatakan pernikahan wanita Muslim dan pria non-Muslim tidak diperbolehkan. "Ini adalah masalah yang disepakati semua ulama di masa lalu dan disepakati saat ini," kata Al-Azhar dalam pernyataan pada 18 November.
Abdullah Rushdi, seorang peneliti di Kementerian Wakaf Agama, yang mengawasi pekerjaan masjid negara, menggambarkan jenis pernikahan tersebut sebagai bentuk perzinahan dan "tidak sah" dalam sebuah video yang diunggah pada 18 November.
Ahmed Kerima, seorang profesor yurisprudensi komparatif di Universitas al-Azhar, mengatakan semua ulama Muslim bersatu menentang bentuk pernikahan itu. "Ini adalah pendapat yang kuat pada setiap saat dan di mana saja," kata Kerima.
Persoalan wanita Muslim boleh menikah dengan pria yang tidak mengikuti keyakinan mereka merupakan masalah yang selalu menjadi bahan diskusi yang sengit dan sengit.
Alquran tanpa ragu menentang pernikahan tersebut, yakni pria non-Muslim dengan wanita Muslim, sebagaimana ayat-ayat yang melarang pernikahan wanita Muslim dan "penyembah berhala."
Namun, kalangan yang mendukung bentuk pernikahan itu menarik benang merah yaitu soal "penyembah berhala" dan "ahli kitab". Atas dua hal ini, mereka menilai dibutuhkan pemeriksaan ulang dan penafsiran ulang terhadap teks-teks agama, terutama mengenai masalah-masalah di mana kitab suci tidak menawarkan aturan yang jelas.
Khalid Montasser, seorang dokter medis, penulis dan juru kampanye untuk reformasi agama, menyadari perselisihan tentang pernikahan antaragama sekarang ada dalam Al-Azhar.
Menurut dia persoalan ini ada di antara mereka yang menginginkan pembaruan dan mereka yang ingin menjaga keadaan sebagaimana adanya dengan tujuan mengendalikan publik.
Sejarawan dan peneliti Maged M Farag, mengatakan satu dari ribuan orang yang memperdebatkan pernikahan beda agama di dunia maya dalam beberapa hari terakhir, mengaku mengetahui adanya puluhan wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim. "Mereka mendaftarkan kontrak pernikahan sipil di Lebanon, Siprus, dan negara lain," kata Farag seperti dilansir di Al-Monitor, Senin (30/11).
"Beberapa pria non-Muslim bahkan masuk Islam di atas kertas saja. Mereka yang tinggal di luar Mesir tidak peduli sedikit pun tentang fatwa para syekh ini," tulis Farag di akun Facebook-nya.
Dalam kondisi demikian, Nosier mengatakan, masalah-masalah tersebut menjadi alasan mengapa ada kebutuhan mendesak bagi para sarjana agama untuk membahas masalah-masalah modern dan membimbing umat yang beriman untuk menghadapinya. Menurutnya ini masalah serius yang memengaruhi kehidupan jutaan wanita Muslim yang tinggal di Barat.
"Beberapa dari wanita ini harus tinggal dengan pasangan non-Muslim mereka tanpa menikah dengan mereka, karena agama mereka melarangnya. Kita harus memperbarui pemahaman kita tentang agama untuk mengikuti perubahan yang terjadi dalam hidup kita," tutur Nosier.
Masalah pernikahan beda agama ini menjadi topik hangat di Mesir setelah Tunisia mencabut undang-undang yang melarang wanita Muslim menikah dengan non-Muslim pada 2017.
Hal ini karena laki-laki Muslim yang diizinkan menikahi perempuan non-Muslim menimbulkan tuduhan bahwa laki-laki menafsirkan teks-teks agama untuk kepentingan mereka sendiri.
"Laki-laki mendominasi interpretasi teks-teks agama. Wanita tidak bisa lagi diabaikan, terutama dengan peran utama yang mereka mainkan di masyarakat," kata penulis feminis dan juru kampanye kesetaraan, Dena Anwer kepada Al-Monitor.
Pembawa acara TV Yasmine el-Khateib juga mengungkapkan, pandangan yang mengizinkan wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim akan menjadi koreksi dari kesalahan yang dibuat pria dengan memberikan hak kepada diri mereka sendiri.
Persoalan pernikahan beda agama sering kali menimbulkan keterkejutan dan kecaman di antara banyak orang Mesir. Terutama terkait pendirian yang teguh bahwa pernikahan tersebut tidak dapat diterima dalam Islam, terutama jika mereka adalah wanita yang menikah dengan pria non-Muslim.
Mohamed Gamal, seorang pegawai negeri sipil berusia awal 40-an dengan nama samaran, mengatakan dia menikah dengan seorang wanita non-Muslim bahkan ketika semua orang di sekitarnya menentangnya. "Keluarga saya menentangnya dan keluarganya juga menentangnya," kata Gamal kepada Al-Monitor.
Dia harus menyembunyikan identitas agama istrinya untuk menghindari masalah. "Semua orang menentang pernikahan beda agama, sekalipun pria Muslim diizinkan menikahi wanita non-Muslim," kata Gamal.
Di sisi lain, Direktur Al-Azhar Fatwa Center, Osama al-Hadidi, menyampaikan, sarjana Muslim melarang pernikahan wanita Muslim dengan pria non-Muslim setiap saat dan di mana pun, karena mereka memiliki dasar pertimbangan yang kuat. "Mereka melakukan ini untuk kesejahteraan keluarga," katanya.