Penanggulangan HIV Bertumpu di Penghapusan Diskriminasi
ICJR meminta tidak ada lagi kebijakan diskriminatif HIV/Aids
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan, untuk menjamin efektifnya penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia yang paling utama yang harus dilakukan adalah menghilangkan stigma dan diskriminasi bagi populasi kunci HIV. Hal tersebut, kata dia, hanya dapat dilakukan dengan menghapus ataupun mencegah usulan kebijakan yang bersifat diskriminatif pada populasi kunci HIV-AIDS.
"Setiap 1 Desember 2020 diperingati sebagai Hari AIDS sedunia dengan tujuan memberikan pengetahuan pada publik bahwa HIV-AIDS adalah isu bersama, tidak hanya isu yang selalu dikaitkan dengan kelompok yang dipinggrikan dalam masyarakat," kata Erasmus dalam keterangannya, Selasa (1/12).
"HIV-AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat, sesuai dengan apa yang sudah dikomitmenkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, " tambahnya
Berdasarkan data UNAIDS, Situasi HIV-AIDS di Indonesia per 2018 menujukkan 640.00 orang hidup dengan HIV (ODHIV), 46 ribu orang baru terinfeksi HIV. Per 2018 di Indonesia hanya 51 persen ODHIV mengetahui status HIV nya, dan hanya 17 persen memperoleh akses layaanan, hanya 15 persen Ibu hamil dengan HIV mengakses layanan untuk pencegahan transmisi HIV ke anak. Berdasarkan data UNAIDS ini hanya 11,37 persen laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun menyadari cara yang tepat untuk mencegah transmisi HIV.
"Pengetahuan tentang penanggulangan HIV dapat dikatakan belum maksimal, " kata Erasmus.
Dalam kebijakan penanggulangan HIV Indonesia pun telah dikomitmenkan bahwa prinsip yang dijalankan antara lain menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender; salah satunya dengan melibatkan peran aktif populasi kunci HIV. Populasi kunci tersebut yaitu pengguna napza suntik, Wanita Pekerja Seks(WPS), langsung maupun tidaklangsung; pelanggan/ pasangan seks WPS, gay, waria, dan Laki pelanggan/ pasangan Seks dengan sesama Laki (LSL); dan warga binaan lapas/rutan. Maka kebijakan penanggulangan akan berhasil jika merangkul kelompok tersebut, bukan menstigma, mendiskriminasi ataupun mengkriminalisasi kelomopok tersebut.
"Namun sayangnya stigma, diskriminasi hingga upaya kriminalisasi terhadap populasi kunci, atapun pada perbuatan berkaitan dengan perilaku beresiko transmisi HIV-AIDS masih terus dilakukan, " sesalnya.
Di tingkat nasional narasi perang terhadap narkotika yang juga mengkriminalisasi semua bentuk penggunaan narkotika masih digaungkan. Belum ada semangat utuh dari Pemerintah dan DPR untuk tidak sama sekali mengkriminalasi pengguna narkotika, misalnya dalam diskursus revisi UU Narkotika.
Dalam tataran kebijakan pidana pun, kriminalisasi perbuatan seks konsensual dalam ruang privat diwacanakan, akan mempidana pekerja, pelanggan pekerja seks, gay, waria, yang merupakan kelompok kunci dalam penanggulangan HIV. Dalam tataran yang lebih luas, mengenai kebijakan kriminalisasi, praktik diskriminasi terus terjadi.
"Kebijakan overkriminalisasi membuat kelompok rentan pengguna narkotika baik perempuan, kelompok miskin dikirim ke penjara, yang menyebabkan jumlah populasi kunci HIV terus bertambah, di tengah praktik pemenjaraan yang sarat pelanggaran HAM, " tegasnya.
"Dalam tataran lokal, kebijakan daerah yang diskrimnatif pada kelompok LGBT, Pekerja Seks, Waria terus bertumbuh. Tak jarang, ide kriminalisasi LGBT, Pekerja Seks, Waria dan populasi kunci HIV dijadikan komoditas politik, "tambahnya.
Untuk menjamin efektifnya penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia yang paling utama yang harus dilakukan adalah menghilangkan stigma dan diskriminasi bagi populasi kunci HIV.
"Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menghapus ataupun mencegah usulan kebijakan yang bersifat diskriminatif pada populasi kunci HIV-AIDS, " ujarnya.