Pengendalian Penyakit Jamaah Haji Belum Terkoordinasi Baik
IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Tim Peneliti Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan (Kemenkes) Profesor Rustika mengatakan, berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa program pembinaan pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) terhadap jamaah haji belum terkoordinasi dengan baik. Hal tersebut karena kurangnya komunikasi antarsektor.
"Juga kurangnya perencanaan secara komprehensif dan masih ada ego sektoral," kata Prof Rustika seperti dikutip dari orasi pengukuhan Profesor dengan tema "Kolaborasi Pembinaan Pengendalian Faktor Risiko Penyakit tidak menular (PTM) Pada Jamaah Haji dalam Mendukung Istithaah Kesehatan", Rabu (3/12).
Prof Rustika mengatakan, kolaborasi pembinaan kesehatan jamaah haji merupakan pola pembinaan secara umum dengan tujuan agar lebih efektif dan efisien. Kolaborasi ini mengintegrasikan berbagai program pembinaan dari berbagai sektor dengan mendayagunakan sumber daya, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.
"Kolaborasi memerlukan koordinasi dengan berbagai sektor, pemangku kepentingan atau stakeholder untuk berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya, termasuk dukungan pendanaan," katanya.
Dalam menjalankan koordinasi, merlukan komunikasi yang harmonis antar berbagai unsur, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Komitmen antarsektor harus dibangun dan dituangkan dalam dokumen perencanaan dan program aksi bersama.
"Hasil penelitian pola pembinaan pengendalian faktor risiko PTM di berbagai daerah telah memperlihatkan beberapa unsur potensial untuk berkolaborasi," katanya.
Misalnya yang mesti berkolaborasi di antaranya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan puskesmas, Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kabupaten/Kota dan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, MUI, KBIH, IPHI, Asosiasi Kesehatan Haji Indonesia (AKHI), Perhimpunan Dokter Kesehatan Haji Indonesia (PERDOKHI), Forum Perawat Kesehatan Haji Indonesia (FPKHI), Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), serta PPIH merupakan pihak-pihak yang aktif berkolaborasi dalam pembinaan kesehatan jemaah haji.
Peran sektor kesehatan dalam pembinaan pengendalian faktor risiko PTM menjadi kuat karena dilakukan atas dasar hasil pemeriksaan tahap pertama, kedua, dan ketiga, smentara itu, peran Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota menjadi penting sebagai koordinator.
KBIH sebagai penyelenggara melakukan pembinaan intensif kepada jamaahnya, menyiapkan, memfasilitasi, dan menyinergikan kegiatan pembinaan ibadah dan kesehatan. Jadi KBIH juga sangat penting perannya dalam pembinaan kesehatan.
"Pelibatan KBIH dalam kolaborasi pembinaan kesehatan haji merupakan sebuah keniscayaan," katanya.
Prof Rustika memastikan, keberhasilan kolaborasi pembinaan tergantung pada koordinasi antar unsur dan sektor. Untuk itu diperlukan komunikasi yang terbuka, jujur, serta kesiapan membuka diri bagi semua pihak.
Menurutnya, kolaborasi akan mendorong pembinaan pengendalian faktor risiko PTM menjadi lebih efektif dan efisien, serta harus diwujudkan karena dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan.
"Serta kebugaran jamaah haji sehingga dapat menurunkan tingkat kesakitan dan kematian," katanya.
Prof Rustika mengatakan, pola pembinaan kesehatan jamaah haji dapat dijadikan indikator keberhasilan program kesehatan haji. Kementerian Kesehatan menjadikan syarat istithaah kesehatan sebagai semangat untuk terus-menerus melakukan pembinaan kesehatan.
"Bahkan, bila perlu hasil pola pembinaan kesehatan jamaah haji dapat dijadikan indikator keberhasilan program kesehatan haji," katanya.
Ia memastikan, kolaborasi pembinaan pengendalian faktor risiko PTM pada jamaah haji menjadi solusi terbaik untuk mendukung istitaah kesehatan jamaah. Kolaborasi bukan perkara mudah karena banyak kepentingan berbagai sektor dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Maka dari itu, kata dia, tiap-tiap sektor perlu menerbitkan protokol pembinaan sesuai dengan tugas dan fungsinya, tetapi dengan memperhatikan pedoman kolaborasi pembinaan. Pedoman kolaborasi pembinaan yang bersifat generik perlu diterbitkan oleh Kementerian Agama. Namun, penerapannya di daerah tetap memperhatikan kearifan lokal.
"Pedoman kolaborasi pembinaan pengendalian faktor risiko PTM bagi jemaah haji juga harus segera dibuat dan dilaksanakan oleh jajaran Kementerian Kesehatan agar pembinaan berjalan secara terpadu," katanya.
Ia berharap, pada masa mendatang pembinaan pengendalian faktor risiko PTM jamaah haji diharapkan bersifat mandiri dan terkolaborasi. Sehingga koordinasi dan komunikasi antara calon jamaah haji dan pihak pembina menjadi lebih aktif dan lancar.
"Pemerintah berkewajiban menyediakan informasi yang lengkap dan adekuat sehingga jamaah haji bisa mengetahui dan mengendalikan faktor risiko PTM secara mandiri," katanya.
Prof Rustika memastikan pembinaan kesehatan secara kolaboratif tidak hanya diperuntukan bagi jamah haji, tetapi bisa dikembangkan bagi jamaah umrah. Jumlah jamaah umrah yang lebih dari satu juta pertahun memerlukan pembinaan faktor risiko PTM.
"Sehingga morbiditas dan mortalitas jamaah umroh juga dapat dikendalikan," katanya.