Kisah Seruan Jihad Dalam Episode Kekuasaan Mataram Islam
IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Perang Jawa yang terjadi selama lima tahun di tahun 1825-1830, memang tak sekedar punya penyebab tunggal, misalnya rasa kejengkelan kepada penjajah semata. Di sana penyebabnya bermacam-macam. Ada yang bersifat internal kraton Mataram Islam di Yogyakarta misalnya persaingan politik antar pangeran.
Pada sisi lain, perang melawan kolonial itu juga terjadi akibat penderitaan hidup dan persoalan ekonomi yang ada di Hindia Belanda setelah bubarnya VOC, persoalan internasional adanya revolusi Indusri dan Revolusi Prancis.
Bahkan selain tu penyebabnya juga ada persoalan perubahan iklim dunia dengan meluasnya wabah kolera akibat gunung meletus. Persoalan kesenjangan sosial di mana jurang kaya miskin di masyarakat sudah begitu lebar. Hingga puncaknya menjadi soal agama. Kala itu ada tarekat baru dari kaum suni (nasqabandiyah), yakni berupa tarikat satariyah.
Nama tarikat tersebut mengambil 'nisbat' dari sosok pendirinya Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah.
Dan Jejak para pengikut tarekat ini misalnya tampak dari sosok pangeran asal Yogyakarta yang menjadi pendiri tua di dekat Madiun yang tak jauh dari Gunung Lawu, yaitu Pesantren Takeran. Di masa kini dari pesantren lahir sosok penting, seperti Ketua MPR tahun 1980-an, Jendral M Kahis Suhud dan bos Jawa Pos sekaligus mantan menteri era Presiden SBY, Dahlan Iskan.
- Keterangan foto: Suasana Pesantren Takeran. yang didirkan seorang pangeran dari Jogjakarta yang ikut menjadi panglima perang dalam Perang Jawa.
Maka , tarekat Satariyah ini tidak lagi hanya bersifat eksetoris atau melihat ke dalam sisi pribadi manusia saja seperti lazimnya, tapi sudah berubah menjadi sebuah gerakan sosial berupa perlawanan terhadap penindasan kolonial.
Maka tak ayal lagi, saat itu seruan jihad melawan kolonial waktu itu semakin ramai diperbicangkan. Apalagi sekitar tahun 1780 M ada surat dari Syekh Abdul Shamad Al Palembani yang menjadi imam di Masjidil Haram sempat bersurat kepada para Raja Jawa, seperti Paku Buwono IV untuk melakukan perang suci terhadap Belanda. Seruan jihad itu disalin dan kemudian banyak di tempel di berbagai masjid yang kala itu bertepatan dengan menjelang tibanya bulan Ramadhan.
Situasi ini makin klop dengan latar belakang Diponeoro yang didik secara santri oleh neneknya yang berasal dari Madura dan merupakan cucu seorang ulama. Bahkan konon, neneknya itulah yang memberikan teladan dan pembelajaran kepada Dipongero untuk hidup secara aksetis sebagai seorang Muslim.
Ini semakin masuk akal, karena eyangnya yakni Sultan Hamengku Buwono I selaku pendiri Kraton Yogyakarta adalah seorang Muslim. Bahkan dia adalah anak pesantren. Tempat belajarnya adalah salah satu Pondok Pesantren tua yang ada di Ponorogo. Ini makin kental karena dia juga keturunan 'duriat Rasulullah' atau lebih dikenal sebagai keturunan Arab dari keluarga Basyaiban.
Peneliti Diponegoro asal Inggris Pater Carey dalam banyak perbincangan kerap mengatakan jauh-jauh hari di masa kecilnya, sang eyang yakni Sultan Hamengku Buwono I pun sudah meramal bila cucunya kelak akan menjadi orang yang berani atau jagoan di dalam melawan Belanda. Dalam banyak kesempatan ketika menimang bayi cucunya yakni Raden Antawirya alias Raden Mas Abdul Hamid (di kala dewasa dan memimpin perang Jawa kemudian memakai nama Pangeran Diponegoro), hal itu sering dia ucapkan. Bakat alamnya berupa pukulan tangan yang keras membuat eyangnya yakin bila dewasa sang cucu ini akan menjadi orang yang 'jadug' atau jagoan pemberani.