Rhoma Irama Menangis Kisahkan Bagaimana Tuhan Jawab Doanya
Rhoma Irama mengisahkan keberhasilannya angkat dangdut Melayu
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Penyanyi dangdut legendaris, Rhoma Irama menitikkan air mata ketika menceritakan awal mula dirinya memutuskan untuk tetap lanjut bermusik.
Ia merasa, saat itu Tuhan telah menjawab doanya melalui musik dangdut ini. Karena dulu dangdut adalah musik bergenre orkes melayu.
Rhoma menceritakan itu semua saat berbincang mengenai julukan ‘Satria Bergitar’ yang ia simbolkan untuk dirinya sendiri.
Mengenai ‘Satria Bergitar’ ini, kalau dilihat dari foto dirinya di sana terlihat Rhoma Irama berkuda, memakai sorban, dan di belakangnya ada gitar.
“Itu simbol dari sosok Rhoma Irama, mohon maaf, di dalam darah saya mengalir tiga unsur, agama, seni, dan politik. Dalam arti, saya peduli dengan bangsa ini, dan saya ingin berkontribusi dengan bangsa ini. Itu jadi satu nafas,” ungkap Rhoma dalam ‘Bincang Madani Bersama Legenda: Gitar dan Dakwah’ yang digelar secara virtual.
Rhoma berkuda, bersorban, dan bergitar, dimana gitar itu merupakan simbol senjata Rhoma, sorban simbol Rhoma membawa dakwah Islam dalam musik dan film, serta berkuda simbol perjuangan menegakkan kebenaran.
“Jadi musik saya berbicara soal tauhid, ukuwah islamiyah, soal persatuan nasional, Pancasila, hak asasi, perjuangan dan doa, dan sebagainya,” papar Rhoma lagi.
Dari situ, kemudian muncul sebuah rasa keresahan luar biasa dalam bermusik dan bermain film. Tanpa maksud menyinggung siapapun, seni seringkali diidentikan dengan lebih memilih meninggalkan sholat, lalu minum minuman beralkohol, bahkan pergaulan bebas.
Rhoma merasa sangat resah. Hingga saat sedang solat, ia banyak sekali berdoa kepada Allah. Doanya adalah, ‘Seandainya bakat seni yang Kau berikan kepadaku ini hanya akan memperlebar jalanku ke neraka, tolong cabut bakat ini. Tapi seandainya bakat seni ini bisa sampai membawa kepada ridho-Mu, bimbing saya’.
Lalu pada 13 Oktober 1973, ia mendeklarasikan Soneta sebagai the sound of Moslem. Dengan tekad, apa yang Allah berikan kepadanya berupa bakat seni, ia harus kembalikan kepada Allah lagi. Saat itu, terjadi gap sangat kuat antara musik dan agama.
“Sampai Gus Dur almarhum berkata, tidak ada pintu dakwah dalam musik karena musik itu otonom. Saya membenarkan itu, tapi sedikit saya bantah. Saya katakan, ‘Itu betul Gus, tapi saya melihat celah untuk dakwah di musik’. Dan karena itu adalah celah, jadi memang tidak mudah,” kata Rhoma.
Kemudian pada 1970an, saat The Purple dengan musik hard rock-nya melanda dunia, hingga demam rock. Waktu itu dangdut namanya masih orkes melayu. Walaupun dulu ia berdiri di dua kaki karena ia kerap kali membawakan lagu pop, ia melihat rock melanda dunia itu.
Kemudian ia berpikir, jika orkes melayu tidak direvolusi, maka akan hilang. Muncul lah gagasan merevolusi orkes melayu itu. Dulu orkes melayu pemainnya duduk, lighting pun dari petromaks dan paling hebat pakai neon, sound system-nya toak yang digantung di pohon rambutan.
“Saya lihat The Purple bawa sound system 100 ribu watt, saya bikin sound system 100 ribu watt. Dulu nggak ada yang namanya vendor, semua anak band kalau mau punya alat, ya beli. Lighting, stage act juga saya bikin seperti The Purple. Mereka rambut panjang dan celana ketat, kita juga. Dari aransemen saya masukin suasana rock-nya, saya terinspirasi gitaris The Purple. Terbentuklah sebuah genre bernama dangdut,” ungkap Rhoma.
Ia berpegang pada Firman Allah, ‘Wahai orang beriman jangan kau mengatakan sesuatu yang tidak kau lakukan. Besar murka Allah untuk orang yang suka ngomong menasehati, tapi tidak bisa melakukannya’. Artinya, lagu-lagu yang ia mainkan, harus juga ia jalankan.
“Alhamdulillah sampai saat ini saya katakan... Bahwa Allah telah menjawab doa saya, saya merasakan itu, saya bersyukur. Saya dirikan Soneta, sekarang saya di dalam bermusik, kami tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah, tidak ada lagi minum. Lagu-lagu yang saya lantunkan insya Allah saya bisa jalankan, kami bisa lakukan sebelum kami dendangkan untuk orang lain,” ucap Rhoma sembari menitikkan air mata.