RUU Baru Membuat Muslim Prancis Makin Didiskriminasi

Pemerintah Prancis dinilai menerapkan standar ganda terhadap Muslim.

DW/Lisa Louis
RUU Baru Membuat Muslim Prancis Makin Didiskriminasi. Muslim Prancis, Omar Ahamad (kiri) dan Irfan Thakar di depan Masjid Moubarak di Saint-Prix di pinggiran utara Paris, Prancis.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Rancangan Undang-Undang (RUU) baru Prancis yang diklaim pemerintah bertujuan memerangi separatisme dan radikalisme dinilai bisa meningkatkan diskriminasi, terutama terhadap Muslim. Salah satu pandangan mengenai UU itu datang dari anggota Jemaat Muslim Ahmadiyah di Saint-Prix di pinggiran utara Paris, Irfan Thakar dan Omar Ahamad. 

Baca Juga


Keduanya mengaku merasa disalahpahami sebagai Muslim di Prancis. Sebagai imam, Thakar (30 tahun) kerap memimpin sholat di Masjid Moubarak. "Saya orang Prancis. Namun, saya harus menjelaskannya berulang kali kepada non-Muslim. Banyak orang berpikir Islam tidak sesuai dengan Prancis, itu tidak benar," kata Thakar, dilansir di DW, Selasa (8/12).

Ahamad juga berpendapat serupa. Mereka merasa diperlakukan seolah-olah mereka milik bangsa dan ras yang berbeda. Di samping, menurutnya, fakta bahwa media hanya berbicara tentang Islam ketika serangan teror terjadi lagi.

Mereka juga mempertanyakan pidato Presiden Emmanuel Macron di pinggiran Les Mureaux yang berbicara tentang 'separatisme Islam' dan Islam berada dalam krisis. Keterasingan yang dirasakan Thakar dan Ahamad kemungkinan akan meningkat jika serangkaian tindakan baru yang diusulkan oleh pemerintah Prancis disahkan.

"Bagaimana dia bisa mengatakan sesuatu seperti itu. Itu sangat menstigmatisasi," ujar Thakar.

Menyusul serangkaian serangan teror di Prancis, pemerintah kemudian meningkatkan pengawasan terhadap sekitar 50 asosiasi Muslim dan 75 masjid. Prancis juga berniat mengusir lebih dari 200 non-warga negara yang diduga telah diradikalisasi.

Sebuah RUU yang diajukan kepada Kabinet pada Rabu (9/12) akan meningkatkan pengawasan terhadap semua masjid di Prancis, serta pembiayaan mereka. Dalam hal ini, pemerintah juga bertujuan menambah pengawasan lebih pada pelatihan para imam.

Rancangan undang-undang tersebut juga akan membatasi sekolah di rumah, membuat aturan baru terhadap kampanye kebencian daring, dan mengizinkan pemenjaraan karena mengintimidasi pegawai negeri atas dasar agama. RUU tersebut dapat mencapai Parlemen pada awal 2020 dan mulai berlaku beberapa bulan kemudian.

 

Thakar dan Ahamad tidak menentang pengawasan terhadap masjid dan imam yang dicurigai terlibat dalam ekstremisme. Mereka mengatakan, mereka berkepentingan melakukan sesuatu melawan fanatik radikal yang tidak ada hubungannya dengan visi mereka tentang Islam.

"Kami juga perlu melindungi keluarga sendiri dari mereka," kata Ahmad.

Seorang pengacara yang juga merupakan anggota komunitas Ahmadiyah dan penulis buku Etre Musulman en France (Menjadi Muslim di Prancis), Asif Arif, mengatakan langkah-langkah baru Prancis itu meleset dari target. Menurutnya, teroris tidak lagi diradikalisasi di masjid.

"Itu semua terjadi secara daring dan saat mereka berhubungan dengan jaringan internasional," kata Arif.

Seorang perempuan membaca pengumuman penutupan Masjid Agung Pantin di pinggiran Paris, Prancis, 20 Oktober 2020. Masjid tersebut ditutup usai pembunuhan seorang guru beberapa hari sebelumnya. - (Reuters/Antony Paone)

 

Arif mengatakan tindakan itu hanya akan semakin menstigmatisasi Muslim di Prancis. Ia menyebut pemerintah punya standar ganda. 

Di sisi lain, pemerintah melarang Collective Against Islamophobia, yang melawan diskriminasi terhadap Muslim. Namun menurutnya, pemerintah tidak membubarkan kelompok sayap kanan Generation Identitaire, yang jelas-jelas melakukan tindakan ilegal, seperti melakukan kontrol polisi di antara para migran di perbatasan ke Italia selama dua tahun lalu.

"Terlebih lagi, kita sudah memiliki undang-undang yang cukup untuk memerangi terorisme dan salah satu undang-undang antiteror paling ketat di dunia. Ketimbang membuat undang-undang baru yang semakin membatasi kebebasan kita, pemerintah mestinya menerapkan yang sudah ada," ujarnya.

Arif berharap situasinya akan membaik. Ia mengatakan, pemerintah pada akhirnya seharusnya melibatkan umat Islam ketimbang hanya menyatakan mereka sebagai kambing hitam. Ia juga menyerukan ketenangan selama tiga bulan setelah munculnya serangan teror.

 

"Kami bukan masalahnya, kami adalah bagian dari solusi. Pemerintah seharusnya tidak diizinkan mengeluarkan undang-undang baru terkait teror selama periode itu. Untuk mencegah reaksi tergesa-gesa yang hanya akan semakin membatasi kebebasan kita," ujarnya.

Sementara itu, pemerintah menyangkal Islam menjadi sasaran. Dia mengatakan beberapa masjid menyebarkan ujaran kebencian secara online. 

Dia mengutip Masjid Agung Pantin di pinggiran timur laut Paris. Masjid tersebut telah mengeluarkan video yang mengutuk guru sejarah Samuel Paty karena dia telah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelas. Pada Oktober lalu, seorang Muslim Chechnya berusia 18 tahun dari Rusia membunuh Paty karena karikatur tersebut.

"Kami tidak islamofobia. Kami hanya mencoba untuk menegakkan nilai-nilai republik kami," kata juru bicara Istana Elysee kepada DW selama konferensi pers baru-baru ini.

Juru bicara tersebut mengatakan, pemerintah sedang memantau Generasi Identitaire. Ia menyebut pemerintah tidak akan pernah membiarkan musuh Republik berkembang di Prancis.

Seorang pengendara sepeda melewati balai kota Marseille dengan lampu Tricolor Prancis untuk menghormati guru Samuel Paty yang terbunuh, Rabu, 21 Oktober 2020. Guru sejarah Prancis Samuel Paty dipenggal di Conflans-Sainte-Honorine, barat laut Paris, selama 18 tahun -pengungsi Chechnya kelahiran Moskow, yang kemudian ditembak mati oleh polisi. - (AP/Daniel Cole)

 

Akan tetapi, Francois Burgat tidak percaya pemerintah netral dalam hal agama. Burgat adalah seorang ilmuwan politik di Institut Penelitian dan Kajian Dunia Arab dan Muslim di kota selatan Marseilles.

"Macron telah memasuki fase baru. Dia mengambil tindakan yang diperlukan untuk menyenangkan sayap kanan dan sayap kanan-jauh, karena dia membutuhkan suara mereka dalam pemilihan presiden 2022," kata Burgat.

Burgat mengatakan, Macron akhirnya harus menerima negara itu memiliki tanggung jawab dalam hal radikalisasi. Menurutnya, Muslim sering mendapatkan diskriminasi di pasar kerja dan merasa dikesampingkan di negara itu.

"Hal itu mendorong mereka menjadi radikal. Menyadari hal itu akan membantu kami melawan setidaknya radikalisasi yang terjadi di tanah kami sendiri," tambahnya.

 

https://www.dw.com/en/french-muslims-say-radical-islamism-law-is-discriminatory/a-55876637 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler